Sinopsis Gundala Gawat; Para Superhero yang Gagal Tegakkan Keadilan

Gundala Gawat: Para Superhero yang Gagal Tegakkan Keadilan

Ketidakadilan sudah merajarela. Aparat tidak berdaya dan pemimpin seolah telah bebal akan kritik dan mahfum atas ketidakdilan yang terjadi. Para superhero pun turut serta dalam ketidakadilan yang terjadi.

Melalui pentas teater dua setengah jam, Teater Gandrik mencoba melakukan kritik terhadap situasi yang ada sekarang. Mereka mengkritik dengan banyolan khas mereka (sampakan) lewat lakon Gundala Gawat.

Sekelompok orang dengan membawa perlengkapan bertani, seperti cangkul, Garu, dan cangkul, tiba-tiba datang ke rumah Gundala yang diperankan oleh Susilo Nugroho. Mereka menuntut agar Gundala bertanggung jawab atas kejadian hangusnya empat desa di Klaten, JawaTengah, disebabkan oleh petir.

“Kami perwakilan warga Klaten datang kemari ingin protes karena 4 desa terbakar karena tersambar petir,” tegas salah seorang dari rombongan tersebut. Diduga petir tersebut berasal dari Pak Petir, ayah Gundala.

Peristiwa yang terjadi di Klaten hanyalah satu dari sekian banyak peristiwa yang terjadi yang diakibatkan oleh serangan petir. Selain mengakibatkan desa terbakar, perampokan bank yang berbarengan juga terjadi saat serangan petir terjadi.

Atas peristiwa yang terjadi, Hasmi (pencipta tokoh Gundala) mempunyai ide, para superhero dikumpulkan di kantor pengerahan tenaga superhero untuk mengatasi persoalan yang gawat. Beberapa yang bergabung dalam kantor tersebut adalah Aquanus (manusia air), pangeran melar, Jin Kartubi, Sun Bo Kong, dan Gundala Putra Petir.

Alih-alih membasmi kejahatan dan menyelamatkan negari, sebagian besar dari superhero malah membelot dan ikut dalam kelompok perampok Harimau Lapar. Gundala seorang diri pun tidak bisa berbuat apa-apa karena sang istri juga telah disekap.

Tidak seperti cerita superhero yang berakhir dengan kemenangan sang superhero, dalam cerita tersebut, Gundala tidak dapat menumpas kejahatan. Sang penulis, Hasmi, mengalami sakit-sakitan dan tidak bisa melanjutkan cerita komik yang tengah dibuatnya.

Sekilas cerita tentang kegagalan superhero memberantas kejahatan tersebut ditampilkan oleh Teater Gandrik dalam lakon “Gundala Gawat”  yang dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta, Selasa-Rabu, (16 dan 17/4).

Naskah Gundala Gawat yang dipentaskan malam itu merupakan karya penyair sekaligus jurnalis senior, Goenawan Mohamad, yang akrab disapa Mas Goen. Karya tersebut terinspirasi dari tokoh komik legendaris karya Harya Suryaminata alias Hasmi, Gundala. (AT)

Alur Teks Drama9 Oktober 1740

2.1 Alur Teks Drama9 Oktober 1740
Ada enam babak di dalam teks drama 9 Oktober 1740. Tiap-tiap babak diberi judul nama kota. Babak pertama adalah Batavia. Babak kedua adalah Amsterdam. Babak ketiga adalah Kartasura. Babak keempat adalah Tangerang. Babak kelima adalah Lasem. Babak keenam adalah Semarang. Dalam drama ini, semuanya terdiri dari 42 adegan.

2.1.1 Alur Keseluruhan
Pada babak pertama, adegan pertama, diceritakan pertemuan antara Adriaan Valckenier dengan Wouter Ruyter. Adriaan Valckenier adalah Gubernur Jendral VOC yang ke-25. Ia bertanya kepada Wouter Ruyter tentang keyakinan Wouter Ruyter dapat menangkap Hein de Wit, keponakan Wouter Ruyter, dan Hien Nio, kekasih Hein de Wit yang merupakan orang Cina (Sylado, 2007: 1).

Di adegan ini, dijelaskan alasan Adriaan Valckenier menangkap Hein de Wit dan Hien Nio kepada Wouter Ruyter. Pertama, keinginan Adriaan Valckenier mengajar ayah Hein de Wit supaya jera. Kedua, keinginan Adriaan Valckenier mengetahui jaringan gerakan Cina yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda (Sylado, 2007: 2).

Pada adegan kedua, Karel Dijkstra dipanggil Wouter Ruyter untuk meyakinkan Adriaan Valckenier bahwa kemampuannya dapat diandalkan. Ia berkata bahwa dirinya licin seperti belut, menjepit seperti ketam, dan sanggup berkorban seperti anak domba (Sylado, 2007: 3).

Adegan ketiga menceritakan tentang percakapan antara Adriaan Valckenier dengan Wouter Ruyter. Adriaan Valckenier tampak yakin bahwa tugas Wouter Ruyter untuk menghabisi lawan politiknya, Von Imhoff dan Jan de Wit, dapat diselesaikan dengan baik. Wouter Ruyter merespon kepercayaan Adriaan Valckenier dengan rasa percaya diri. Bahkan, ia berani mempertaruhkan kepalanya apabila rencananya
tersebut gagal. Selain itu, ia menceritakan alasan pribadinya ingin membunuh Jan de Wit. Alasannya disebabkan oleh perasaan cemburunya terhadap Jan de Wit. Wouter Ruyter mencintai Marianne Valentijn, istri Jan de Wit.
“…. Kalau aku keliru, kepalaku sendiri taruhannya. Mana
bisa aku keliru menyebut Jan de Wit, sepupuku, jika istrinya,
Marianne Valentijn, membuat malamku berubah menjadi
kuburan tua tertutup salju.” (Sylado, 2005: 4)

Di adegan ini, Adriaan Valckenier menjelaskan lebih detail tentang alasan penangkapan Hein de Wit dan Hien Nio. Pertama, ia beralasan bahwa Jan de Wit, ayah Hein de Wit, merupakan kroni Von Imhof yang anggota dewan Hindia. Adriaan Velckenier memiliki pendapat yang berseberangan tentang cara menyikapi etnis Cina di Batavia Von Imhoff.
“Semua harus mendapat ganjarannya. Ya orang-orang Cina itu, ya kroni Von Imhoff. Sebab, tidak ada ketenangan dalam kekuasaanku selain membabat konfidensi lawan politikku. Jan de Wit, ayah kandung Hein de Wit itu, sepupu Anda sekaligus kroni Von Imhoff. Tugas Anda rumit, tapi Anda ular. Aku yakin Anda bisa selesaikan sebagai ular.” (Sylado, 2005: 4).

Kedua, Valckenier mengungkapkan bahwa rencana pembunuhan terhadap orang Cina di Batavia tidak disebabkan oleh persaingan niaga atau keharusan penduduk Cina mempunyai surat izin kerja yang dikeluarkan oleh Von imhoff, tetapi disebabkan oleh kesepakatan yang dibuat antara Belanda, Valckenier, dan penguasa Manchu. Penguasa Manchu meminta Valckenier untuk membunuh orang Cina di Batavia karena mereka menolak pulang untuk dicacah jiwa (Sylado, 2007: 5).

Adegan keempat menceritakan tentang pertemuan antara Antek-Antek yang bertugas menangkap Hein de Wit dan Hien Nio dengan Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter. Mereka ini pula yang nantinya akan membunuh orang-orang Cina di Batavia dan membuang mayat-mayatnya. Antek-Antek meyakinkan Adriaan Valckenier dengan cara berkata secara serempak. Mereka berkata, “Kami berjanji kepada Tuan Gubernur Jendral sanggup melaksanakan tugas ini dengan baik (Sylado, 2005: 8).”

Wouter Ruyter kemudian menyuruh Antek-Antek bersembunyi. Setelah itu, Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter juga ikut bersembunyi. Adegan kelima bercerita tentang Hein de Wit yang sedang menunggu Karel Dijkstra di depan Stadhuisplein. Dalam keadaan menunggu seorang diri, dijelaskan tentang keadaan cinta Hein de Wit melalui solilokui. Hein de Wit bingung karena tidak mengerti alasan Pamannya, Wouter Ruyter, berusaha memisahkan dirinya dengan Hien Nio. Pamannya menyuruh Hein de Wit bersekolah ke Belanda. Padahal, Hien Nio sedang hamil. Hein de Wit mengkhawatirkan nasib buah hatinya (Sylado, 2005: 10).

Pada adegan keenam, Karel Dijkstra datang menghampiri Hein de Wit. Ia melaporkan pengamatannya tentang keamanan lingkungan sekitar dari kemungkinan datangnya musuh. Setelah itu, mereka berdua berbicara tentang permasalahan cinta yang sedang dihadapi Hein de Wit. Karel Dijkstra menenangkan Hein de Wit sekaligus mengambil hati Hein de Wit dengan cara menegaskan bahwa mereka berdua
bersahabat. Karel Dijkstra berkata, “Tentu saja, sahabatku Hein, tentu ya, kita memang bersahabat bukan?” (Sylado, 2005: 14)

Pada adegan ketujuh, Hien Nio dan Banci datang di dari sudut yang lain. Mereka mencari Hein de Wit di tempat yang berjauhan. Awalnya, mereka belum saling mengetahui keberadaan masing-masing. Pada adegan ini, Hien Nio menjelaskan tentang perasaannya kepada Banci. Ia merasa tidak enak dan tidak patut karena harus menemui suaminya di Taman. Si Banci menanggapi Hien Nio dengan berkata,
“Ah, cinta kok pakek ragu segala. Lihat itu purnama di atas sana, tidak ragu walaupun dihalangi awan. Oh, indahnya kau purnama, menyaksikan cinta yang tak pernah kukenal dalam sejarahku sebagai banci: berhati purnama, tapi berkelamin terong.” (Sylado, 2005: 17)

Setelah itu, Hein de Wit dan Hien Nio saling menyadari bahwa orang yang ditunggu telah berada di sekitar Stadhuisplein. Ketika bertemu, Hein de Wit tanpa basa-basi langsung memberitahu Hien Nio agar mereka segera pergi dari Batavia karena akan terjadi pembunuhan di seantero Batavia.

“Ya, memang begitu itu, Hien Nio. Ada konspirasi
Valckenier dengan Ch’ien Lung. Sebelum terlambat, kita harus
melarikan diri. Kau dan keluargamu harus selamat, sumpah demi
roh leluhurku para hertog di Den Bosch, tiada pedang yang boleh
memisahkan kita.” (Sylado, 2005: 23)

Pada adegan kedelapan, Hein de Wit dan Hien Nio ditinggalkan oleh Banci dan Karel Dijkstra. Mereka menjauh untuk mengawasi situasi lingkungan sekitar. Setelah itu, Hien Nio dan Hein de Wit kembali berbincang tentang rencana meninggalkan Batavia menuju Buitenzorg. Hein de Wit mendesak Hien Nio untuk segera pergi. Hein de Wit berkata bahwa Batavia akan dibanjiri darah pada tanggal 9 Oktober.

Pada adegan kesembilan, Karel Dijkstra berlari menghampiri Hein de Wit dan Hien Nio karena dikejar-kejar oleh Antek-Antek. Hein de Wit, Hien Nio, dan Karel Dijkstra ditangkap oleh Antek-Antek, sedangkan Banci melarikan diri.

Pada adegan kesepuluh, Hein de Wit, Hien Nio, dan Karel Dijkstra dibawa ke depan gedung Stadhuis, tempat Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter sudah menunggu mereka. Wouter Ruyter memecuti Hien Nio. Ketika memecuti Hien Nio, Wouter Ruyter seolah-olah tidak mengetahui bahwa keponakannya Hein de Wit juga ditangkap.

Setelah Hein de Wit berteriak agar Wouter Ruyter melepaskan Hien Nio, Wouter Ruyter berlagak seolah-oleh terkejut. Ia kemudian menghampiri Hein de Wit sambil berpura-pura menyesal karena telah menangkap Hein de Wit. Di adegan kesebelas, Wouter Ruyter kemudian melepaskan Hein de Wit
dan Karel Dijkstra. Akan tetapi, Hien Nio tetap ditahan dan dibawa masuk ke dalam. Hein de Wit pun menyusulnya ke dalam, sedangkan Karel Dijkstra tetap di luar.

Di depan gedung Stadhuis, Wouter Ruyter memberi imbalan kepada Karel Dijkstra dan memuji atas pekerjaannya. Setelah itu, Karel Dijkstra diminta untuk menemani Hein de Wit pergi ke Belanda. Wouter Ruyter meminta Karel Dijkastra untuk mengajak Hein de Wit ke tempat prostitusi dan mentraktirnya berbuat mesum sampai Hein de Wit terjangkit penyakit kelamin (Sylado, 2005: 29).

Pada babak kedua adegan kedua belas menceritakan tentang perkenalan Hein de Wit dan Karel Dijkstra dengan Ross, sundal di Zeedijk, Amsterdam. Ross menarik perhatian Hein de Wit dan Karel Dijkstra mengatakan kepada mereka bedua bahwa sundal yang membikin Amsterdam hidup. Walaupun ada yang
bilang bahwa Sundal adalah sampah, Ross meyakini bahwa sundal tidak akan tersingkir (Sylado, 2005: 32). Ia merayu Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Ross berkata, “Kalau kamu berkata kasihan kami, panjat kami beri kami uang.” (Sylado, 2005: 32)

Di lain pihak, Karel Dijkstra memengaruhi Ross agar mengajak Hein de Wit masuk ke dalam dan bercumbu. Karel Dijkstra berkata kepada Ross, “Kenapa kau tidak tuntun sahabatku ini masuk ke dalam, membagun kesenangan itu.”

Pada adegan ketiga belas, Karel Dijkstra berbicara dengan dirinya sendiri setelah ditinggal oleh Hein de Wit dan Ross. Ia menjelaskan tentang kebingungannya terhadap dirinya. Karel Dijkstra merasa memiliki tiga wajah. Wajah pertama dikenal oleh kebanyakan orang. Wajah kedua hanya dikenal oleh dirinya sendiri. Wajah ketiga tidak dikenal oleh orang lain dan diri sendiri (Sylado, 2005: 34—35). Karel Dijkstra berkata, “Terhadap diriku sendiri aku bingung. Seperti berdiri bukan dengan kaki. Di atas tanah yang bukan lagi bumi.” (Sylado, 2005: 35)

Pada adegan keempat belas, Ross keluar kamar untuk menghampiri Karel Dijkstra. Ross jengkel terhadap Hein de Wit karena tertidur di kamarnya. Rencana Karel Dijkstra membuat Hein de Wit terkena penyakit kelamin terancam gagal karena Hein de Wit tidak bersetubuh dengan Ross. Akan tetapi, Karel Dijkstra berhasil meyakinkan Ross untuk masuk kembali dan merayu Hein de Wit (Sylado,
2005: 37).

Pada adegan kelima belas, Karel Dijkstra kembali ditinggal sendirian di luar oleh Ross. Ia kemudian termenung kembali. Saat itu, dirinya bertanya-tanya tentang sikap Wouter Ruyter terhadap Hein de Wit. “Mengapa Wouter Ruyter, paman sahabatku itu, begitu serius menyuruhnya pulang ke sini, memisahkan dirinya dari jantung hatinya.? Apakah itu benar beralas pada kebencian ras Belanda tergadap semua Cina, yang membuat mereka dibatasi habis? Ataukah ada udang di balik batu dalam pikiran dan kemauan Woiter Ruyter? Ah, aku tidak tahu, sungguh mati.” (Sylado, 2005: 39)

Pada adegan keenam belas Ross kembali keluar dari kamar dan menghampiri Karel Dijkstra. Ross merasa takut terhadap kelakuan Hein de Wit di kamarnya. Ross berkata bahwa Hein de Wit tidur di kamarnya. Ia terlihat seperti sedang bermimpi menyodomi sapi. Ross pun tidak berani membangunkannya karena trauma ketika membangunkan ayahnya. Saat itu, ia malah diperkosa. Itu pulalah yang membuatnya menjadi seorang pelacur.

Karel Dijkstra kemudian kembali membujuk Ross agar bersedia masuk ke dalam dan membangunkan Hein de Wit. Karel Dijkstra mengatakan bahwa Hein de Wit akan memberinya uang dua kali lipat apabila berhasil membangunkannya (Sylado, 2005: 43).

Mendengar itu, Ross tertarik. Ia bersedia untuk kembali ke dalam dan membangunkan Hein de Wit. Ia berkata, “Hei, lihat, aku lakukan sekarang.”

Pada adegan ketujuh belas, Karel Dijkstra kembali berbicara pada dirinya sendiri. Di adegan ini, ia mempertanyakan alasan dirinya bersedia untuk berperan ganda seperti ini hanya demi uang.

“… Aku ini pecundang di belakang sahabatku, tapi aku pendulang di hadapan pamannya. Pamannya, aku tahu, perwira tinggi di Batavia, berpenghasilan sebulan lebih dari 8.000 gulden, padahal gaji gubernur jendral 600 gulden….” (Sylado, 2005: 45).

Ia berkata bahwa semua itu berasal dari korupsi. Pejabat-pejabat di Batavia memang maling. Namun, kerajaan Belanda yang jauh letaknya dari Batavia tidak tahu itu. Rata-rata dari semua orang Belanda yang datang ke sana terjangkit infrit kolonoialisme. Walaupun demikian, Karel Dijkstra tetap menganggapnya sebagai kesalahan orang-orang pribumi yang dungu, primitif, dan gila hormat (Sylado, 2005: 45).

Hein de Wit di adegan kedelapan belas datang dengan tiba-tiba dari belakang dan duduk di samping Karel Dijkstra. Awalnya, Hein de Wit hanya berkeluh kesah tentang keinginannya untuk kembali ke Batavia. Setelah itu, cerita berlanjut soal sikap Wouter Ruyter yang tidak baik terhadap dirinya. Karel Dijkstra membela sikap Wouter Ruyter terhadap Hein de Wit. Pada saat itulah, kecurigaan Hein de Wit muncul terhadap Karel Dijkstra. Ia curiga bahwa Karel Dijkstra mendapat sesuatu dari Wouter Ruyter. Kecurigaannya semakin menguat ketika Karel Dijkstra bersumpah dengan menyebut langit akan runtuh, yang merupakan omongan yang biasa diucapkan oleh Wouter Ruyter (Sylado, 2005: 55).

Hal itu menyulut perkelahian di antara mereka. Pada adegan kesembilan belas, Ross dan sundal-sundal yang lain keluar untuk melihat perkelahian tersebut. Setelah memukul dan menendang Karel Dijkstra hingga tercebur ke sungai, Hein de Wit menghampiri Ross dan memberinya uang. Ia berkata kepada Ross bahwa dirinya tidak menaiki perempuan yang bukan istrinya (Sylado, 2005: 57).

Pada adegan kedua puluh, Ross ditinggalkan sendirian oleh Hein de Wit. Ia berkata kepada dirinya sendiri. “Lagi-lagi uang mengakhiri pertemuan. Uang yang membikin segalanya berubah. Dua sahabat bisa saling gontok-gontokan. Tapi yang musuhan bisa saling berdamai. Tidak salah uang menjadi berhala baru. Orang Belanda pun mengarungi samudra. Pergi ke Timur tidak memikirkan bahaya.
Semata lantaran uang dan kekuasaan….” (Sylado, 2005: 57 dan 58)

Pada babak ketiga, adegan kedua puluh satu, Hien Nio dan temantemannya belum bertemu dengan Pakubuwono II. Mereka masih ditemani oleh Raden Sumpeno yang memberi arahan kepada mereka untuk memeriksa busana masing-masing.

“Perhatian! Perhatian! Baginda Raja Sri Susuhunan
Pakubuwono II sedang berjalan ke balairung ini. Sebelum baginda
datang ke sini, silakan periksa busana masing-masing apakah sudah
terkenakan menurut patutnya. Kami bertugas memeriksa busana para
tamu. (Sylado, 2005: 61)

Pada adegan kedua puluh dua, Pakubuwono II masuk diikuti oleh para tamu, termasuk Raden Sumpeno. Pakubuwono menanyakan kepada para tamunya tentang maksud kedatangan mereka. Para tamu diperkenalkan oleh Tumenggung Martopuro. Setelah itu, masing-masing dari mereka, kecuali Banci, ikut angkat bicara. Uy Ing Kiat berkata bahwa maksud kedatangannya adalah untuk meminta dukungan dari
Pakubuwono II. Para pasukan Cina di bawah pimpinannya dan Tan Pan Ciang telah menyusun kekuatan untuk menyerang Belanda (Sylado, 2005: 65).

Hien Nio menjelaskan kepada Pakubuwono II tentang alasannya menyerang Belanda. Ia mengingatkan kepada Pakubuwono II tentang peristiwa pembunuhan masal orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740 yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Adriaan Valckenier. Itu pula yang menjadi alasan baginya
bergabung dengan pasukan Cina. Ia mengkhawatirkan bahwa kekejaman Belanda akan sampai di Surakarta (Sylado, 2005: 57).

Pada adegan ini, dijelaskan pula kepada Pakubuwono II tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Dirk Rueven, Gubernur Jendral VOC yang ke-22, menekan dan memeras orang Cina di seantero kota (Sylado, 2005: 70).

“… Ditambah, Ketua Dewan Hindia, Von Imhoff,
mengeluarkan surat izin kerja bagi orang Cina, dan karenanya
keadaan jadi kisruh. Orang-orang yang tak punya izin itu
ditangkap lantas dikirim ke Sailan. Tersiar kabar, mereka dibuang
ke laut. Itu yang kemudian menimbulkan pemberontakan. Dan
pemberontakan itu, pada setahun lalu, dimanfaatkan oleh
Gubernur Jendral Valckenier untuk membantai habis bangsa kami
di Batavia.” (Sylado, 2005: 71)

Setelah menjelaskan itu, Hien Nio meminta izin untuk menyusui bayinya. Ia meninggalkan ruang pertemuan bersama Banci. Di tempat pertemuan, Pakubuwono II, Tan Pan Cian, Uy Ing Kiat, Tumenggung Martopuro, dan Raden Sumpeno masih tinggal.

Pada adegan kedua puluh tiga, Pakubuwono II merestui penuh perjuangan pasukan Cina. Ia bahkan mengatakan bahwa tentara kerajaan siap membantu (Sylado, 2005: 76).

Setelah mendapat restu, Tan Pan Ciang dan Uy Iang Kiat mohon diri kepada Pakubuwono II. Tumenggung Martopuro dan Raden Sumpeno diminta oleh Pakubuwono II untuk tetap tinggal.

Pada adegan kedua puluh empat, Pakubuwono II berbicara dengan Tumenggung Martopuro dan Raden Sumpeno tentang kedua tamunya tadi. Sikapnya berbeda dengan sebelumnya. Ia mempertanyakan alasan membawa tamu-tamunya tadi menghadap. Pakubuwono II berprasangka bahwa Tumenggung Martopuro telah menerima suap (Sylado, 2005: 79).

Tumenggung Martopuro terkejut atas prasangka dari sang raja. Ia bersumpah bahwa semua yang dilakukannya untuk kebaikan Mataram. Pasukan Cina bersungguh-sungguh melawan Belanda (Sylado, 2005: 79).

Pakubuwono II tidak percaya atas perkataan Tumenggung Martopuro tadi. Pakubuwono II berkata bahwa pembelaan tadi tidak mengubah pendiriannya. Ia pun meminta Raden Sumpeno untuk menjelaskan semua perkataannya tadi dan masalah yang tidak terkatakan kepada Tumenggung Martopuro (Sylado, 2005: 82). Setelah itu, ia pun pergi. Pada adegan kedua puluh lima, Pakubuwono II pergi. Raden Sumpeno kemudian menjelaskan kepada Tumenggung Martopuro tentang keadaan Pakubuwono II. Sebagai pengasuh sang raja sejak kecil, ia tahu segala yang dipikirkan Pakubuwono II.

“Yang aku tahu betul, sebab aku kenal benar pribadinya
sejak masa kanaknya, barwa perangainya itu diliputi bingung, dan
bisa mengalirkannya kepada orang lain. Biasa juga mengambil
keputusan tanpa timbang, dan karena itu kebijakannya selalu
mengambang, sama seperti esuk dele sore tempe. Hanya sebatas
itu yang aku tahu.” (Sylado, 2005: 83)

Tumenggung Martopuro teringat akan janjinya kepada Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Ia merasa telah mengecewakan kedua pemimpin pasukan Cina tersebut. Ia tidak ingin pembantaian terjadi lagi terhadap pasukan Cina yang sedang berjuang. Ia berkata, “Tidak. Jangan sampai itu terjadi. Tidak ada naluri yang lebih buruk daripada naluri membenarkan pembantaian.” (Sylado, 2005: 86)

Pada babak keempat, adegan kedua puluh enam, Ni Bou San sedang kedatangan tamu yang bernama Lim Tik Hian. Ia sedang bercerita tentang sikapnya terhadap pembunuhan massal orang Cina di Batavia. Lim Tik Hian berpendapat bahwa peristiwa tersebut harus dibalas. Ia meminta Ni Bou San
merestuinya untuk berangkat ke Lasem dan bergabung dengan Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat (Sylado, 2005: 88).

Lim Tik Hian mengungkapkan kebenciannya terhadap Belanda. Ia beranggapan semua Belanda sama. Tabiat-tabiat orang Belanda tidak dapat diubah. Kekejaman penjajahan Belanda di Nusantara lebih kejam daripanda kekejaman penjajahan Mancu di Cina (Sylado, 2005: 90).

Ni Bou San merestui keberangkatan Lim Tik Hian. Ia tidak dapat ikut karena menganggap dirinya sudah terlalu tua. Ni Bou San berpendapat bahwa semua yang terjadi cukup diketahuinya saja. (Sylado, 2005: 89). Harapannya, setelah masa pemerintahan Adriaan Valckenier barlalu, keadaan akan berubah. Ni Bou San menceritakan mimpinya. Karena mimpi tersebut, Ni Bou San berprasangka bahwa ada persengkongkolan antara Belanda dengan Mancu (Sylado, 2007: 91).

Pada adegan kedua puluh tujuh, Hein de Wit datang ke rumah Ni Bou San. Ia bertemu dengan Ni Bou San dan Lim Tik Hian. Setelah Hein de Wit masuk, ia berkelahi dengan Lim Tik Hian karena salah paham. Mereka berdua berkelahi dengan menggunakan pedang (Sylado, 2005: 95).

Ketegangan mereda setelah perkelahian berhasil dihentikan oleh Ni Bou San. Ia kemudian memperkenalkan Hein de Wit kepada Lim Tik Hian.

“Apa kau tidak ingat dia ini Hein de Wit, yang telah
memberikan cinta kepada Hien Nio? Artinya Hein de Wit adalah
menantuku. Suka atau tidak suka, kenyataan ini sejati, dan aku mesti
menerima ini dengan hati fitrah. Sekarang, katakanlah Hein de Wit,
sejarahnya bagaimana kau bisa menemui jalanmu ke sini setelah kau
hilang entah setahun dua.” (Sylado, 2005: 98)

Hein de Wit pada adegan ini mengetahui perbuatan yang telah dilakukan Wouter Ruyter terhadap ayah dan ibunya lewat bantuan cenayang yang dilakukan oleh Ni Bou San.

“Astaga, aku melihat dengan jelas seperti panggung bayang-bayang
durjana. Wouter Ruyter, wajah yang terekam di mata sebagai
ular beludak, serigala berbaju domba, menikam sendiri ayahmu
dengan pedangnyaketika terjadi pembantaian 9 Oktober 1740.”
(Sylado, 2005: 103)

Pada adegan kedua puluh delapan, ketegangan menurun. Setelah Hein de Wit masuk ke dalam untuk beristirahat, Lim Tik Hian berkata kepada Ni Bou San bahwa pernyataan Hein de Wit janggal. Lim Tik Hian tetap menganggap bahwa Hein de Wit tidak berbeda dengan orang Belanda yang lain, “… Di Barat mereka adalah Barat di Timur mereka tetap Barat (Sylado, 2005: 110).”

Ni Bou San pun mengingatkan bahwa semua orang memiliki kekurangan. Ia menganggap Lim Tik Hian terlalu naif. Untuk itu, Ni Bou San mengajukan pertanyaan retoris, “Apa kau kira kita pun tidak punya cacat? Kau tanyakan perkaramu kepada pribumi, niscaya merekapun berkata: di Cina kita adalah Cina
di Jawa kita tetap Cina….” (Sylado, 2005: 110)

Pada adegan kedua puluh sembilan, ketegangan masih dalam keadaan yang sama seperti pada adegan kedua puluh delapan. Beberapa saat kemudian Hein de Wit keluar lagi karena tidak dapat tidur. Hein de Wit ingin segera berangkat ke Lasem. Ia rindu kepada Hien Nio. Pada babak kelima, adegan ketiga puluh, diceritakan tentang kesalahpahaman pasukan Cina terhadap kedatangan Hein de Wit dan Lim Tik
Hian. Sepuluh pasukan Cina langsung mengepung Hein de Wit dan Lim Tik Hian.

Namun, yang paling menarik perhatian adalah sosok Hein de Wit karena dia berkulit putih. Suasana semakin mengeruh setelah Lim Tik Hian berseru agar membunuh Hein de Wit. “Ayo bunuh Belanda,” ucap Lim Tik Hian memengaruhi pasukan Cina (Sylado, 2007: 120). Di sisi lain, untuk menyelamatkan dirinya, Lim Tik Hian menegaskan pada pasukan Cina bahwa dirinya adalah bangsa Cina.

Setelah lepas dari target pasukan Cina, Lim Tik Hian tetap memengaruhi pasukan Cina. Kesepuluh pasukan Cina menyerang Hein de Wit sambil mengatakan bahwa Hein De Wit adalah mata-mata Belanda. Di sisi lain, Lim Tik Hian berpura-pura tidak mendengar ketika Hein de Wit meminta Lim Tik Hian
untuk menjelaskan bahwa dirinya bukanlah mata-mata (Sylado, 2005: 121).

Pada adegan ketiga puluh satu, ketegangan mereda setelah kedatangan Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan beberapa pengawal. Hien Nio pun menjelaskan kepada Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat sosok lelaki Belanda yang ada di hadapannya. Setelah itu, Hien Nio mengajak Hein de Wit menemui
anaknya (Sylado, 2005: 126).

Pada adegan ketiga puluh dua, Lim Tik Hian, Tan Pan Ciang, dan Uy Ing Kiat tetap tinggal. Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat mendengarkan cerita dari Lim Tik Hian tentang dirinya yang mengaku sebagai teman sepermainan Hien Nio sejak kecil. Akan tetapi, setelah beranjak dewasa, hubungan mereka semakin menjauh (Sylado, 2005: 127).

Selain itu, Lim Tik Hian bercerita tentang sikapnya terhadap hubungan Hein de Wit dengan Hien Nio. Ia heran terhadap alasan Hien Nio tertarik kepada Hein de Wit. Padahal, Belanda adalah musuh bangsa Cina (Sylado, 2005: 127).

Lim Tik Hian menginginkan mereka untuk berpisah (Sylado, 2005: 128). Pada adegan ketiga puluh tiga, tinggal Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat, sedangkan Lim Tik Hian pergi menuju dapur umum. Mereka kemudian membahas tentang sifat Lim Tik Hian. Uy Ing Kiat menilai bahwa Lim Tik Hian masih bisa diarahkan untuk menjadi baik, sedangkan Tan Pan Ciang masih sangsi.

Tan Pan Ciang menilai bahwa kebaikan seseorang dapat diketahui setelah dia berpeluang berbuat jahat (Sylado, 2005: 131). Mereka pun bersepakat untuk menguji Lim Tik Hian dan Hein de Wit.

Pada adegan ketiga puluh empat, Banci muncul sendirian. Dia berbicara pada dirinya sendiri ketika sedang menunggu Hein de Wit dan Hien Nio. Pada adegan ketiga puluh lima, Banci dihampiri oleh Hein de Wit dan Hien Nio yang sedang menggendong anak mereka. Hein de Wit meminta Banci untuk menidurkan anak mereka di ranjang (Sylado, 2005: 135).

Pada adegan ketiga puluh enam, Hein de Wit dan Hien Nio berbincang tentang kehidupan yang mereka alami. Hein de Wit merasa bahwa hidupnya bermakna karena cinta yang ada di antara mereka (Sylado, 2005: 138).

Pada adegan ketiga puluh tujuh, latihan pasukan Cina dimulai kembali. Pada adegan ini, terjadi perkelahian antara Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Perkelahian itu merupakan ujian yang sengaja dirancang oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat kemudian mempermasalahkan kebangsaan Hein de Wit. Lim Tik Hian termakan oleh rencana Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat.

Beberapa saat kemudian, Lim Tik Hian dan Hein de Wit saling berkelahi sebagai ujian terhadap Hein de Wit dan Hein de WIt. Perkelahian tersebut dimenangkan oleh Hein de Wit.

“Aku bisa membunuhmu sekarang, tapi aku tidak mau: ini
memperburuk kesan bahwa orang Belanda membunuh orang Cina
yang sudah tidak berdaya seperti ini. Aku cuma heran, kenapa kau
selalu curang, dalam banyak waktu mencoba membunuhku. Aku
menghitung, enam kali dalam perjalanan dari Batavia sampai di
Lasem sekarang ini ketika aku tidur kau mau menikamku.” (Sylado,
2005: 148)

Lim Tik Hian mengakui bahwa ia mau membunuh Hein de Wit dalam perjalanan ke Lasem. Usahanya tersebut disebabkan oleh kebenciannya kepada Hein de Wit karena memperoleh cinta Hien Nio (Sylado, 2005: 149).

Hien Nio langsung marah ketika mendengar pengakuan Lim Tik Hian. Hien Nio belum sempat melampiaskan kemarahannya kepada Lim Tik Hian karena sudah dihentikan oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat (Sylado, 2005: 149).

Pada babak keenam, adegan ketiga puluh delapan, diceritakan tentang Wouter Ruyter dan Marianne Valentijn yang sedang berbincang di bagian muka rumah. Wouter Ruyter bermaksud merayakan keberhasilannya menghancurkan pasukan Cina yang akan menyerang Semarang.

“… Tidak sia-sia aku dikirim ke Semarang ini oleh
Gubernur Jendral Johannes Thedens. Nah, ayolah Sayang, kita
menunggu malam yang bakal kunjung. Cuma cinta yang mampu
mengalahkan siang.” (Sylado, 2005: 155)

Namun, Marianne Valentijn menanggapinya dengan dingin. Ia merasa bersalah atas kejadian 9 Oktober 1740. Kejadian itu terus membekas dan membayang dalam mimpi di setiap tidurnya. Wajah Jan de Wit suaminya yang dibunuh pada saat itu masih ada di benaknya. Marianne Valentijn pun merasa takut apabila harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan atas semua kejadian itu (Sylado, 2005: 158).

Pada adegan ketiga puluh sembilan, Hien Nio dibawa ke hadapan Wouter Ruyter oleh Antek-Antek. Wouter Ruyter kemudian memecut Hien Nio dan anaknya. Sambil memecut ia berkata bahwa bangsa Cina tidak boleh diberi keleluasan niaga karena seperti bangsa ular (Sylado, 2005: 164).

Adegan keempat puluh menceritakan tentang kedatangan Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Adegan ini merupakan puncak ketegangan dari drama 9 Oktober 1740, klimaks mayor. Hein de Wit dan Karel Dijkstra bertarung dengan Antek- Antek. Mereka berhasil membunuh tujuh Antek-Antek.

Setelah itu terjadi perkelahian antara Hien Nio dengan Wouter Ruyter. Mereka berkelahi dengan menggunakan klewang. Setelah melukai beberapa bagian tubuh Wouter Ruyter, Hien Nio beberapa saat kemudian berhasil membunuhnya (Sylado, 2005: 176).

Di adegan keempat puluh satu, diceritakan tentang kedatangan Karel Dijkstra. Setelah sempat memukul Karel Dijkstra, Hein de Wit mempersilakan Lim Tik Hian untuk membuatnya kapok. Lim Tik Hian berkata kepada Karel Dijkstra bahwa kapok yang paling tulen adalah maut (Sylado, 2005: 179). Lim
Tik Hian membunuh Karel Dijkstra.

Di adegan keempat puluh dua diceritakan bahwa Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Lim Tik Hian, dan Marianne Valentijn berencana melanjutkan kehidupan mereka di Manado (Sylado, 2005: 180). Cerita diakhiri dengan pelukan antara Marianne Valentijn dengan Hein de Wit, Hien Nio, dan anaknya.

2.1.2 Tahapan Alur
Dari empat puluh dua adegan tersebut, dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu eksposisi, komplikasi, klimaks, dan denaounment. Cerita drama 9 Oktober 1740 beralur linear sehingga tidak menyulitkan apabila dibagi menurut tahapan tersebut.

2.1.2.1 Eksposisi
Eksposisi pada drama ini terjadi pada babak pertama. Pada bagian ini diterangkan mengenai alasan melakukan pembantaian orang Cina di Batavia. Untuk melancarkan rencana tersebut, Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter menangkap Hein de Wit dan Hien Nio. Pertama, keinginan Adriaan Valckenier mengajar ayah Hein de Wit supaya jera. Kedua, keinginan Adriaan Valckenier mengetahui jaringan gerakan Cina yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda (Sylado, 2007: 2).

“Semua harus mendapat ganjarannya. Ya orang-orang Cina
itu, ya kroni Von Imhoff. Sebab, tidak ada ketenangan dalam
kekuasaanku selain membabat konfidensi lawan politikku. Jan de
Wit, ayah kandung Hein de Wit itu, sepupu Anda sekaligus kroni
Von Imhoff. Tugas Anda rumit, tapi Anda ular. Aku yakin Anda bisa
selesaikan sebagai ular.” (Sylado, 2005: 4)

“Ini rahasia kesepakatan dengan Mancu di Cina. Yang benar,
semua Cina di Batavia akan dibunuh, bukan semata-mata karena
persaingan niaga, atau karena mereka harus punya izin kerja
permissiebriefje yang dikeluarkan oleh Von Imhoff, tapi sepenuhnya
sebab kesepakatan politik antara Belanda, aku, dan penguasa
MAncu. Sejak 1719, di masa kekuasaan Ch’ing, K’ang Hsi sudah
menyuruh orang-orang Cina pulang ke Cina karena harus dicacah
jiwa. Tapi orang-orang Cina yang sudah mapan di sini tidak
menggubris perintah penguasa Mancu itu, dan membuat mereka
meminta kita membunuh Cina. (Sylado, 2005: 5)

2.1.2.2 Komplikasi
Komplikasi terjadi di babak kedua hingga kelima. Situasi di keempat babak tersebut terus mengalami peningkatan. Di babak kedua, komplikasi terjadi ketika Hein de Wit berada di Belanda. Ia merasakan kerinduan yang mendalam terhadap Hien Nio dan Nusantara.

Di sisi lain, Hein de Wit menaruh kecurigaan terhadap Karel Dijkstra. Hein de Wit berprasangka bahwa Karel Dijkstra bekerja sama dengan Wouter Ruyter untuk memisahkan dirinya dengan Hien Nio. Prasangka tersebut menguat setelah Karel Dijkstra membela Wouter Ruyter. Pada saat itulah, Hein de Wit mulai curiga terhadap Karel Dijkstra. Selain itu, Karel Dijkstra bersumpah dengan menyebut langit akan runtuh, yang merupakan omongan yang biasa diucapkan oleh Wouter Ruyter (Sylado, 2005: 55).

Hal itu menyulut perkelahian di antara mereka. Karena prasangka tersebut, Hein de Wit dan Karel Dijkstra berkelahi. Di babak ketiga, komplikasi terjadi antara Pakubuwono dengan pasukan Cina. Komplikasi tidak terjadi secara langsung, tetapi timbul setelah Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan Banci pergi.

Pada babak ketiga, Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan Banci menghadap Pakubuwono II untuk meminta dukungan dari Mataram terhadap rencana pasukan Cina menyerang pasukan Belanda di Semarang. Pada awalnya, niat mereka didukung oleh Pakubuwono II yang mengatakan bahwa tentara
kerajaan siap membantu (Sylado, 2005: 76).

Akan tetapi, setelah orang-orang Cina tersebut meninggalkan istana, Pakubuwono II berubah pikiran. Perubahan pikiran tersebut tampak ketika Pakubuwono II marah-marah dan menuduh Tumenggung Martopuro, yang membawa orang-orang Cina tersebut, menerima suap dari pasukan Cina.

Pada babak keempat, komplikasi terjadi ketika Lim Tik Hian dan Hein de Wit betemu di rumah Ni Bou San. Hein de Wit bentrok dengan Lim Tik Hian karena sentimen kebangsaan. Akan tetapi, bentrokan tersebut berakhir setelah Ni Bou San memisahkan mereka. Hein de Wit pada mulanya ingin mencari Hien Nio, tetapi dia mendengar cerita bahwa Hien Nio berada di Lasem untuk bergabung dengan pasukan Cina. Lim Tik Hian dan Hein de Wit akhirnya memutuskan berangkat ke Lasem untuk
bergabung dengan pasukan Cina di bawah pimpinan Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat, sedangkan Ni Bou San tidak ikut karena merasa sudah tua. Mereka akan membantu perjuangan pasukan Cina melawan Belanda.

Di babak kelima, Lim Tik Hian dan Hein de Wit tiba di Lasem, markas pasukan Cina. Komplikasi lagi-lagi terjadi antara Hein de Wit dan Lim Tik Hian karena sentimen kebangsaan. Kali ini, sentimen tersebut dimunculkan secara sengaja oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat untuk mengetahui tingkat keseriusan
Hein de Wit dan Lim Tik Hian bergabung dengan pasukan Cina.

Alur cerita semakin mendekati puncak ketegangan. Saat itu, pasukan Cina bersiap-siap akan menyerang pasukan Belanda di Semarang.

2.1.2.3 Klimaks
Klimaks terjadi di babak keenam. Di babak ini, diceritakan bahwa Wouter Ruyter sedang berpesta dengan Marianne Valentijn. Wouter Ruyter berhasil menggagalkan penyerangan pasukan Cina di Semarang dan membunuh pemimpin pasukan Cina, yaitu Tan Pan Cian dan Uy Ing Kiat. Selain itu, Hien Nio dan bayinya tertangkap oleh Belanda.

“… Tidak sia-sia aku dikirim ke Semarang ini oleh Gubernur
Jendral Johannes Thedens. Nah, ayolah Sayang, kita menunggu
malam yang bakal kunjung. Cuma cinta yang mampu mengalahkan
siang.” (Sylado, 2005: 155)

a. Klimaks Mayor
Klimak mayor terjadi di babak keenam, tepatnya pada adegan keempat puluh, ketika pertarungan antara Hein de Wit, Hien Nio, dan Lim Tik Hian melawan Antek-Antek dan Wouter Ruyter. Akhirnya, Antek-Antek dibunuh oleh Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Setelah itu, terjadi perkelahian antara Hien Nio
dengan Wouter Ruyter. Mereka berkelahi dengan menggunakan klewang. Setelah melukai beberapa bagian tubuh Wouter Ruyter, Hien Nio beberapa saat kemudian berhasil membunuhnya (Sylado, 2005: 176).

b. Klimaks Minor
Klimaks minor terjadi di babak keenam, tepatnya di adegan keempat puluh satu, ketika Lim Tik Hian membunuh Karel Dijkstra. Setelah kematian Wouter Ruyter, Karel Dijkstra beberapa saat kemudian datang. Pada mulanya, Karel Dijkstra hendak mencari Wouter Ruyter. Akan tetapi, Wouter Ruyter sudah
mati, sedangkan Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Lim Tik Hian, Marianne Valentijn masih berada di tempat yang sama.

Setelah sempat memukul Karel Dijkstra, Hein de Wit mempersilakan Lim Tik Hian untuk membuatnya kapok. Lim Tik Hian berkata kepada Karel Dijkstra bahwa kapok yang paling tulen adalah maut (Sylado, 2005: 179).

2.1.2.4 Denaounment
Denaounment terjadi di babak keenam setelah Antek-Antek, Wouter Ruyter, dan Karel Dijkstra mati terbunuh. Setelah itu, di adegan keempat puluh dua ketegangan menurun. Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Karel Dijkstra, dan Marianne Valentijn berencana melanjutkan kehidupan mereka di Manado
(Sylado, 2005: 180). Cerita berakhir dengan pelukan antara Hein de Wit dan Marianne Valentijn.

2.1.3 Pergerakan Alur

Gb. 1 : Diagram Pergerakan Alur
Pada bagian awal babak pertama, garis alur meningkat hingga adegan kesepuluh. Garis alur kemudian menurun pada adegan kesebelas.
Pada babak kedua, garis alur terus meningkat dari adegan kedua belas hingga adegan kedelapan belas. Setelah itu, garis alur mulai menurun pada adegan kesembilan belas dan dua puluh.
Pada awal babak ketiga, garis alur terus menurun hingga adegan kedua puluh tiga. Setelah itu, adegan kedua puluh empat garis alur meningkat. Garis alur kembali menurun di adegan kedua puluh lima.
Pada awal babak keempat, adegan kedua puluh enam, garis alur mendatar, tidak naik atau turun. Setelah itu, garis alur sempat naik pada adegan kedua puluh tujuh. Dari adegan kedua puluh delapan hingga babak keempat berakhir, garis alur kembali terus menurun.
Pada awal babak kelima, ketegangan sempat naik pada adegan ketiga puluh. Pada adegan ketiga puluh satu, garis alur terus menurun hingga adegan ketiga puluh enam. Setelah itu, pada adegan ketiga puluh enam, yang merupakan adegan terakhir di babak kelima, garis alur terus naik hingga akhir babak kelima.
Pada adegan ketiga puluh delapan hingga keempat puluh, garis alur terus naik. Adegan empat puluh merupakan titik klimaks mayor. Setelah itu pada adegan keempat puluh satu, garis alur menurun. Adegan keempat puluh satu merupakan titik klimaks minor. Setelah itu, adegan empat puluh dua, yang
merupakan akhir cerita, garis alur menurun drastis.

SINOPSIS DRAMA 9 OKTOBER 1740

Cerita ini bertumpu pada dua tokoh, yaitu Hein de Wit dan Hien Nio. Hein de Wit adalah keponakan Wouter Ruyter, sedangkan Hien Nio adalah istri Hein de Wit yang merupakan orang Cina. Mereka berdua sepasang suami istri berbeda kebangsaan yang saling mencintai.

Akan tetapi, Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter ingin menangkap dan memisahkan hubungan mereka berdua. Adriaan Valckenier ingin menangkap Hein de Wit dan Hien Nio karena dua hal. Pertama, keinginan Adriaan Valckenier mengajar ayah Hein de Wit supaya jera. Kedua, keinginan Adriaan Valckenier mengetahui jaringan gerakan Cina yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda.

Selain itu, Wouter Ruyter mempunyai alasan pribadinya menangkap Hein de Wit. Ia ingin memperlancar rencananya membunuh Jan de Wit yang telah membuatnya cemburu. Wouter Ruyter mencintai Marianne Valentijn, istri Jan de Wit. Hein de Wit dan Hien Nio kemudian berhasil ditangkap. Hein de Wit dikirim ke Belanda dengan alasan agar memperdalam ilmu di negeri leluhurnya tersebut, sedangkan Hien Nio menjadi tahanan Wouter Ruyter di Batavia.

Hein de Wit tidak betah tinggal di Belanda. Ia ingin kembali bertemu Hien Nio. Di tengeh kerinduannya terhadap Hien Nio, ia merasakan kejanggalan terhadap sikap Karel Dijkstra yang merupakan sahabatnya. Pada saat itu pula, disadarinya bahwa Karel Dijkstra telah mengkhianatinya.

Di lain tempat, Hien Nio, Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, dan Banci datang menghadap Pakubuwono II. Mereka bermaksud meminta dukungan dari Pakubuwono II untuk menyerang Belanda. Alasannya, mereka ingin membalas peristiwa pembunuhan masal orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740 yang
dilakukan oleh Gubernur Jendral Adriaan Valckenier. Selain itu, dikhawatirkan kekejaman Belanda akan sampai di Surakarta (Sylado, 2005: 57).

Setelah pulang dari Amsterdam, Hein de Wit Hein de Wit mendatangi rumah Ni Bou San, ayah Hien Nio, untuk mencari Hien Nio. Akan tetapi, Hein de Wit tidak bertemu dengan Hien Nio karena Hien Nio telah bergabung dengan Pasukan Cina di bawah pimpinan Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat di Lasem. Mendengar hal tersebut, Hein de Wit menyusul Hein de Wit ke Lasem. Hein de Wit dan Hien Nio kembali bertemu di Lasem. Hein de Wit kemudian bergabung dengan Pasukan Cina. Ia bergabung dengan pasukan Cina atas dasar kemanusiaan, bukan rasa kebangsaan. Mereka berdua bergabung dalam
pasukan yang sama yang akan menyerang pasukan Belanda di Semarang.

Akan tetapi, penyerangan itu gagal karena telah dibocorkan oleh Pakubuwono II. Pimpinan laskar mati, sedangkan Hien Nio berhasil ditangkap. Hein de Wit berhasil membebaskan Hien Nio. Hien Nio kemudian berhasil membunuh Wouter Ruyter. Beberapa saat kemudian Karel Dijkstra datang. Lim Tik Hian untuk membuatnya kapok dengan cara membunuhnya. Cerita berakhir dengan bersatunya kembali Hein de Wit dan Hien Nio dan pelukan antara Marianne Valentijn dengan Hein de Wit, Hien Nio, dan anaknya.

Remy Sylado dan Karyanya

Analisis Alur Teks Drama “9 Oktober 1740”

Ada enam babak di dalam teks drama 9 Oktober 1740. Tiap-tiap babak diberi judul nama kota. Babak pertama adalah Batavia. Babak kedua adalah Amsterdam. Babak ketiga adalah Kartasura. Babak keempat adalah Tangerang. Babak kelima adalah Lasem. Babak keenam adalah Semarang. Dalam drama ini, semuanya terdiri dari 42 adegan.

1.1 Alur Keseluruhan

Pada babak pertama, adegan pertama, diceritakan pertemuan antara Adriaan Valckenier dengan Wouter Ruyter. Adriaan Valckenier adalah Gubernur Jendral VOC yang ke-25. Ia bertanya kepada Wouter Ruyter tentang keyakinan Wouter Ruyter dapat menangkap Hein de Wit, keponakan Wouter Ruyter, dan Hien Nio, kekasih Hein de Wit yang merupakan orang Cina (Sylado, 2007: 1).

Di adegan ini, dijelaskan alasan Adriaan Valckenier menangkap Hein de Wit dan Hien Nio kepada Wouter Ruyter. Pertama, keinginan Adriaan Valckenier mengajar ayah Hein de Wit supaya jera. Kedua, keinginan Adriaan Valckenier mengetahui jaringan gerakan Cina yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda (Sylado, 2007: 2).

Pada adegan kedua, Karel Dijkstra dipanggil Wouter Ruyter untuk meyakinkan Adriaan Valckenier bahwa kemampuannya dapat diandalkan. Ia berkata bahwa dirinya licin seperti belut, menjepit seperti ketam, dan sanggup berkorban seperti anak domba (Sylado, 2007: 3).

Adegan ketiga menceritakan tentang percakapan antara Adriaan Valckenier dengan Wouter Ruyter. Adriaan Valckenier tampak yakin bahwa tugas Wouter Ruyter untuk menghabisi lawan politiknya, Von Imhoff dan Jan de Wit, dapat diselesaikan dengan baik.

Wouter Ruyter merespon kepercayaan Adriaan Valckenier dengan rasa percaya diri. Bahkan, ia berani mempertaruhkan kepalanya apabila rencananya tersebut gagal. Selain itu, ia menceritakan alasan pribadinya ingin membunuh Jan de Wit. Alasannya disebabkan oleh perasaan cemburunya terhadap Jan de Wit.
Wouter Ruyter mencintai Marianne Valentijn, istri Jan de Wit.

“…. Kalau aku keliru, kepalaku sendiri taruhannya. Mana bisa aku keliru menyebut Jan de Wit, sepupuku, jika istrinya, Marianne Valentijn, membuat malamku berubah menjadi kuburan tua tertutup salju.” (Sylado, 2005: 4)

Di adegan ini, Adriaan Valckenier menjelaskan lebih detail tentang alasan penangkapan Hein de Wit dan Hien Nio. Pertama, ia beralasan bahwa Jan de Wit, ayah Hein de Wit, merupakan kroni Von Imhof yang anggota dewan Hindia. Adriaan Velckenier memiliki pendapat yang berseberangan tentang cara menyikapi etnis Cina di Batavia Von Imhoff.

“Semua harus mendapat ganjarannya. Ya orang-orang Cina itu, ya kroni Von Imhoff. Sebab, tidak ada ketenangan dalam kekuasaanku selain membabat konfidensi lawan politikku. Jan de Wit, ayah kandung Hein de Wit itu, sepupu Anda sekaligus kroni Von Imhoff. Tugas Anda rumit, tapi Anda ular. Aku yakin Anda
bisa selesaikan sebagai ular.” (Sylado, 2005: 4).

Kedua, Valckenier mengungkapkan bahwa rencana pembunuhan terhadap orang Cina di Batavia tidak disebabkan oleh persaingan niaga atau keharusan penduduk Cina mempunyai surat izin kerja yang dikeluarkan oleh Von imhoff, tetapi disebabkan oleh kesepakatan yang dibuat antara Belanda, Valckenier, dan penguasa Manchu. Penguasa Manchu meminta Valckenier untuk membunuh orang Cina di Batavia karena mereka menolak pulang untuk dicacah jiwa (Sylado, 2007: 5).

Adegan keempat menceritakan tentang pertemuan antara Antek-Antek yang bertugas menangkap Hein de Wit dan Hien Nio dengan Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter. Mereka ini pula yang nantinya akan membunuh orang-orang Cina di Batavia dan membuang mayat-mayatnya.

Antek-Antek meyakinkan Adriaan Valckenier dengan cara berkata secara serempak. Mereka berkata, “Kami berjanji kepada Tuan Gubernur Jendral sanggup melaksanakan tugas ini dengan baik (Sylado, 2005: 8).”
Wouter Ruyter kemudian menyuruh Antek-Antek bersembunyi. Setelah itu, Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter juga ikut bersembunyi.

Adegan kelima bercerita tentang Hein de Wit yang sedang menunggu Karel Dijkstra di depan Stadhuisplein. Dalam keadaan menunggu seorang diri, dijelaskan tentang keadaan cinta Hein de Wit melalui solilokui. Hein de Wit bingung karena tidak mengerti alasan Pamannya, Wouter Ruyter, berusaha memisahkan dirinya dengan Hien Nio. Pamannya menyuruh Hein de Wit bersekolah ke Belanda. Padahal, Hien Nio sedang hamil. Hein de Wit mengkhawatirkan nasib buah hatinya (Sylado, 2005: 10).

Pada adegan keenam, Karel Dijkstra datang menghampiri Hein de Wit. Ia melaporkan pengamatannya tentang keamanan lingkungan sekitar dari kemungkinan datangnya musuh.

Setelah itu, mereka berdua berbicara tentang permasalahan cinta yang sedang dihadapi Hein de Wit. Karel Dijkstra menenangkan Hein de Wit sekaligus mengambil hati Hein de Wit dengan cara menegaskan bahwa mereka berdua bersahabat. Karel Dijkstra berkata, “Tentu saja, sahabatku Hein, tentu ya, kita
memang bersahabat bukan?” (Sylado, 2005: 14)

Pada adegan ketujuh, Hien Nio dan Banci datang di dari sudut yang lain. Mereka mencari Hein de Wit di tempat yang berjauhan. Awalnya, mereka belum saling mengetahui keberadaan masing-masing.

Pada adegan ini, Hien Nio menjelaskan tentang perasaannya kepada Banci. Ia merasa tidak enak dan tidak patut karena harus menemui suaminya di Taman. Si Banci menanggapi Hien Nio dengan berkata,

“Ah, cinta kok pakek ragu segala. Lihat itu purnama di atas sana, tidak ragu walaupun dihalangi awan. Oh, indahnya kau purnama, menyaksikan cinta yang tak pernah kukenal dalam sejarahku sebagai banci: berhati purnama, tapi berkelamin terong.” (Sylado, 2005: 17)

Setelah itu, Hein de Wit dan Hien Nio saling menyadari bahwa orang yang ditunggu telah berada di sekitar Stadhuisplein. Ketika bertemu, Hein de Wit tanpa basa-basi langsung memberitahu Hien Nio agar mereka segera pergi dari Batavia karena akan terjadi pembunuhan di seantero Batavia.

“Ya, memang begitu itu, Hien Nio. Ada konspirasi Valckenier dengan Ch’ien Lung. Sebelum terlambat, kita harus melarikan diri. Kau dan keluargamu harus selamat, sumpah demi roh leluhurku para hertog di Den Bosch, tiada pedang yang boleh memisahkan kita.” (Sylado, 2005: 23)

Pada adegan kedelapan, Hein de Wit dan Hien Nio ditinggalkan oleh Banci dan Karel Dijkstra. Mereka menjauh untuk mengawasi situasi lingkungan sekitar.

Setelah itu, Hien Nio dan Hein de Wit kembali berbincang tentang rencana meninggalkan Batavia menuju Buitenzorg. Hein de Wit mendesak Hien Nio untuk segera pergi. Hein de Wit berkata bahwa Batavia akan dibanjiri darah pada tanggal 9 Oktober.

Pada adegan kesembilan, Karel Dijkstra berlari menghampiri Hein de Wit dan Hien Nio karena dikejar-kejar oleh Antek-Antek. Hein de Wit, Hien Nio, dan Karel Dijkstra ditangkap oleh Antek-Antek, sedangkan Banci melarikan diri.

Pada adegan kesepuluh, Hein de Wit, Hien Nio, dan Karel Dijkstra dibawa ke depan gedung Stadhuis, tempat Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter sudah menunggu mereka. Wouter Ruyter memecuti Hien Nio. Ketika memecuti Hien Nio, Wouter Ruyter seolah-olah tidak mengetahui bahwa keponakannya Hein de
Wit juga ditangkap.

Setelah Hein de Wit berteriak agar Wouter Ruyter melepaskan Hien Nio, Wouter Ruyter berlagak seolah-oleh terkejut. Ia kemudian menghampiri Hein de Wit sambil berpura-pura menyesal karena telah menangkap Hein de Wit.

Di adegan kesebelas, Wouter Ruyter kemudian melepaskan Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Akan tetapi, Hien Nio tetap ditahan dan dibawa masuk ke dalam. Hein de Wit pun menyusulnya ke dalam, sedangkan Karel Dijkstra tetap di luar.

Di depan gedung Stadhuis, Wouter Ruyter memberi imbalan kepada Karel Dijkstra dan memuji atas pekerjaannya. Setelah itu, Karel Dijkstra diminta untuk menemani Hein de Wit pergi ke Belanda. Wouter Ruyter meminta Karel Dijkastra untuk mengajak Hein de Wit ke tempat prostitusi dan mentraktirnya berbuat
mesum sampai Hein de Wit terjangkit penyakit kelamin (Sylado, 2005: 29).

Pada babak kedua adegan kedua belas menceritakan tentang perkenalan Hein de Wit dan Karel Dijkstra dengan Ross, sundal di Zeedijk, Amsterdam. Ross menarik perhatian Hein de Wit dan Karel Dijkstra mengatakan kepada mereka berdua bahwa sundal yang membikin Amsterdam hidup. Walaupun ada yang
bilang bahwa Sundal adalah sampah, Ross meyakini bahwa sundal tidak akan tersingkir (Sylado, 2005: 32).

Ia merayu Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Ross berkata, “Kalau kamu berkata kasihan kami, panjat kami beri kami uang.” (Sylado, 2005: 32)

Di lain pihak, Karel Dijkstra memengaruhi Ross agar mengajak Hein de Wit masuk ke dalam dan bercumbu. Karel Dijkstra berkata kepada Ross, “Kenapa kau tidak tuntun sahabatku ini masuk ke dalam, membagun kesenangan itu.”

Pada adegan ketiga belas, Karel Dijkstra berbicara dengan dirinya sendiri setelah ditinggal oleh Hein de Wit dan Ross. Ia menjelaskan tentang kebingungannya terhadap dirinya. Karel Dijkstra merasa memiliki tiga wajah. Wajah pertama dikenal oleh kebanyakan orang. Wajah kedua hanya dikenal oleh dirinya sendiri. Wajah ketiga tidak dikenal oleh orang lain dan diri sendiri (Sylado, 2005: 34—35). Karel Dijkstra berkata, “Terhadap diriku sendiri aku bingung. Seperti berdiri bukan dengan kaki. Di atas tanah yang bukan lagi bumi.”
(Sylado, 2005: 35)

Pada adegan keempat belas, Ross keluar kamar untuk menghampiri Karel Dijkstra. Ross jengkel terhadap Hein de Wit karena tertidur di kamarnya. Rencana Karel Dijkstra membuat Hein de Wit terkena penyakit kelamin terancam gagal karena Hein de Wit tidak bersetubuh dengan Ross. Akan tetapi, Karel Dijkstra
berhasil meyakinkan Ross untuk masuk kembali dan merayu Hein de Wit (Sylado, 2005: 37).

Pada adegan kelima belas, Karel Dijkstra kembali ditinggal sendirian di luar oleh Ross. Ia kemudian termenung kembali. Saat itu, dirinya bertanya-tanya tentang sikap Wouter Ruyter terhadap Hein de Wit.

“Mengapa Wouter Ruyter, paman sahabatku itu, begitu serius menyuruhnya pulang ke sini, memisahkan dirinya dari jantung hatinya.? Apakah itu benar beralas pada kebencian ras Belanda tergadap semua Cina, yang membuat mereka dibatasi habis? Ataukah ada udang di balik batu dalam pikiran dan kemauan Woiter Ruyter? Ah, aku tidak tahu, sungguh mati.” (Sylado, 2005: 39)

Pada adegan keenam belas Ross kembali keluar dari kamar dan menghampiri Karel Dijkstra. Ross merasa takut terhadap kelakuan Hein de Wit di kamarnya. Ross berkata bahwa Hein de Wit tidur di kamarnya. Ia terlihat seperti sedang bermimpi menyodomi sapi. Ross pun tidak berani membangunkannya karena trauma ketika membangunkan ayahnya. Saat itu, ia malah diperkosa. Itu pulalah yang membuatnya menjadi seorang pelacur.

Karel Dijkstra kemudian kembali membujuk Ross agar bersedia masuk ke dalam dan membangunkan Hein de Wit. Karel Dijkstra mengatakan bahwa Hein de Wit akan memberinya uang dua kali lipat apabila berhasil membangunkannya (Sylado, 2005: 43).

Mendengar itu, Ross tertarik. Ia bersedia untuk kembali ke dalam dan membangunkan Hein de Wit. Ia berkata, “Hei, lihat, aku lakukan sekarang.”

Pada adegan ketujuh belas, Karel Dijkstra kembali berbicara pada dirinya sendiri. Di adegan ini, ia mempertanyakan alasan dirinya bersedia untuk berperan ganda seperti ini hanya demi uang.

“… Aku ini pecundang di belakang sahabatku, tapi aku pendulang di hadapan pamannya. Pamannya, aku tahu, perwira tinggi di Batavia, berpenghasilan sebulan lebih dari 8.000 gulden, padahal gaji gubernur jendral 600 gulden….” (Sylado, 2005: 45).

Ia berkata bahwa semua itu berasal dari korupsi. Pejabat-pejabat di Batavia memang maling. Namun, kerajaan Belanda yang jauh letaknya dari Batavia tidak tahu itu. Rata-rata dari semua orang Belanda yang datang ke sana terjangkit infrit kolonoialisme. Walaupun demikian, Karel Dijkstra tetap menganggapnya sebagai kesalahan orang-orang pribumi yang dungu, primitif, dan gila hormat (Sylado, 2005: 45).

Hein de Wit di adegan kedelapan belas datang dengan tiba-tiba dari belakang dan duduk di samping Karel Dijkstra. Awalnya, Hein de Wit hanya berkeluh kesah tentang keinginannya untuk kembali ke Batavia. Setelah itu, cerita berlanjut soal sikap Wouter Ruyter yang tidak baik terhadap dirinya.

Karel Dijkstra membela sikap Wouter Ruyter terhadap Hein de Wit. Pada saat itulah, kecurigaan Hein de Wit muncul terhadap Karel Dijkstra. Ia curiga bahwa Karel Dijkstra mendapat sesuatu dari Wouter Ruyter. Kecurigaannya semakin menguat ketika Karel Dijkstra bersumpah dengan menyebut langit akan runtuh, yang merupakan omongan yang biasa diucapkan oleh Wouter Ruyter (Sylado, 2005: 55). Hal itu menyulut perkelahian di antara mereka.

Pada adegan kesembilan belas, Ross dan sundal-sundal yang lain keluar untuk melihat perkelahian tersebut. Setelah memukul dan menendang Karel Dijkstra hingga tercebur ke sungai, Hein de Wit menghampiri Ross dan memberinya uang. Ia berkata kepada Ross bahwa dirinya tidak menaiki perempuan yang bukan istrinya (Sylado, 2005: 57).

Pada adegan kedua puluh, Ross ditinggalkan sendirian oleh Hein de Wit. Ia berkata kepada dirinya sendiri. “Lagi-lagi uang mengakhiri pertemuan. Uang yang membikin segalanya berubah. Dua sahabat bisa saling gontok-gontokan. Tapi yang musuhan bisa saling berdamai. Tidak salah uang menjadi berhala baru. Orang Belanda pun mengarungi samudra. Pergi ke Timur tidak memikirkan bahaya. Semata lantaran uang dan kekuasaan….” (Sylado, 2005: 57 dan 58)

Pada babak ketiga, adegan kedua puluh satu, Hien Nio dan teman-temannya belum bertemu dengan Pakubuwono II. Mereka masih ditemani oleh Raden Sumpeno yang memberi arahan kepada mereka untuk memeriksa busana masing-masing.

“Perhatian! Perhatian! Baginda Raja Sri Susuhunan Pakubuwono II sedang berjalan ke balairung ini. Sebelum baginda datang ke sini, silakan periksa busana masing-masing apakah sudah terkenakan menurut patutnya. Kami bertugas memeriksa busana para tamu. (Sylado, 2005: 61)

Pada adegan kedua puluh dua, Pakubuwono II masuk diikuti oleh para tamu, termasuk Raden Sumpeno. Pakubuwono menanyakan kepada para tamunya tentang maksud kedatangan mereka. Para tamu diperkenalkan oleh Tumenggung Martopuro. Setelah itu, masing-masing dari mereka, kecuali Banci, ikut angkat bicara. Uy Ing Kiat berkata bahwa maksud kedatangannya adalah untuk meminta dukungan dari
Pakubuwono II. Para pasukan Cina di bawah pimpinannya dan Tan Pan Ciang
telah menyusun kekuatan untuk menyerang Belanda (Sylado, 2005: 65).

Hien Nio menjelaskan kepada Pakubuwono II tentang alasannya menyerang Belanda. Ia mengingatkan kepada Pakubuwono II tentang peristiwa pembunuhan masal orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740 yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Adriaan Valckenier. Itu pula yang menjadi alasan baginya bergabung dengan pasukan Cina. Ia mengkhawatirkan bahwa kekejaman Belanda akan sampai di Surakarta (Sylado, 2005: 57).

Pada adegan ini, dijelaskan pula kepada Pakubuwono II tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Dirk Rueven, Gubernur Jendral VOC yang ke-22, menekan dan memeras orang Cina di seantero kota (Sylado, 2005: 70).

“… Ditambah, Ketua Dewan Hindia, Von Imhoff, mengeluarkan surat izin kerja bagi orang Cina, dan karenanya keadaan jadi kisruh. Orang-orang yang tak punya izin itu ditangkap lantas dikirim ke Sailan. Tersiar kabar, mereka dibuang ke laut. Itu yang kemudian menimbulkan pemberontakan. Dan pemberontakan itu, pada setahun lalu, dimanfaatkan oleh Gubernur Jendral Valckenier untuk membantai habis bangsa kami di Batavia.” (Sylado, 2005: 71)

Setelah menjelaskan itu, Hien Nio meminta izin untuk menyusui bayinya. Ia meninggalkan ruang pertemuan bersama Banci. Di tempat pertemuan, Pakubuwono II, Tan Pan Cian, Uy Ing Kiat, Tumenggung Martopuro, dan Raden Sumpeno masih tinggal.

Pada adegan kedua puluh tiga, Pakubuwono II merestui penuh perjuangan pasukan Cina. Ia bahkan mengatakan bahwa tentara kerajaan siap membantu (Sylado, 2005: 76).

Setelah mendapat restu, Tan Pan Ciang dan Uy Iang Kiat mohon diri kepada Pakubuwono II. Tumenggung Martopuro dan Raden Sumpeno diminta oleh Pakubuwono II untuk tetap tinggal.

Pada adegan kedua puluh empat, Pakubuwono II berbicara dengan Tumenggung Martopuro dan Raden Sumpeno tentang kedua tamunya tadi. Sikapnya berbeda dengan sebelumnya. Ia mempertanyakan alasan membawa tamu-tamunya tadi menghadap. Pakubuwono II berprasangka bahwa Tumenggung
Martopuro telah menerima suap (Sylado, 2005: 79).

Tumenggung Martopuro terkejut atas prasangka dari sang raja. Ia bersumpah bahwa semua yang dilakukannya untuk kebaikan Mataram. Pasukan Cina bersungguh-sungguh melawan Belanda (Sylado, 2005: 79).

Pakubuwono II tidak percaya atas perkataan Tumenggung Martopuro tadi. Pakubuwono II berkata bahwa pembelaan tadi tidak mengubah pendiriannya. Ia pun meminta Raden Sumpeno untuk menjelaskan semua perkataannya tadi dan masalah yang tidak terkatakan kepada Tumenggung Martopuro (Sylado, 2005:
82). Setelah itu, ia pun pergi.

Pada adegan kedua puluh lima, Pakubuwono II pergi. Raden Sumpeno kemudian menjelaskan kepada Tumenggung Martopuro tentang keadaan Pakubuwono II. Sebagai pengasuh sang raja sejak kecil, ia tahu segala yang dipikirkan Pakubuwono II.

“Yang aku tahu betul, sebab aku kenal benar pribadinya sejak masa kanaknya, barwa perangainya itu diliputi bingung, dan bisa mengalirkannya kepada orang lain. Biasa juga mengambil keputusan tanpa timbang, dan karena itu kebijakannya selalu mengambang, sama seperti esuk dele sore tempe. Hanya sebatas
itu yang aku tahu.” (Sylado, 2005: 83)

Tumenggung Martopuro teringat akan janjinya kepada Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Ia merasa telah mengecewakan kedua pemimpin pasukan Cina tersebut. Ia tidak ingin pembantaian terjadi lagi terhadap pasukan Cina yang sedang berjuang. Ia berkata, “Tidak. Jangan sampai itu terjadi. Tidak ada naluri yang lebih buruk daripada naluri membenarkan pembantaian.” (Sylado, 2005: 86)

Pada babak keempat, adegan kedua puluh enam, Ni Bou San sedang kedatangan tamu yang bernama Lim Tik Hian. Ia sedang bercerita tentang sikapnya terhadap pembunuhan massal orang Cina di Batavia. Lim Tik Hian
berpendapat bahwa peristiwa tersebut harus dibalas. Ia meminta Ni Bou San merestuinya untuk berangkat ke Lasem dan bergabung dengan Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat (Sylado, 2005: 88).

Lim Tik Hian mengungkapkan kebenciannya terhadap Belanda. Ia beranggapan semua Belanda sama. Tabiat-tabiat orang Belanda tidak dapat diubah. Kekejaman penjajahan Belanda di Nusantara lebih kejam daripada kekejaman penjajahan Mancu di Cina (Sylado, 2005: 90).

Ni Bou San merestui keberangkatan Lim Tik Hian. Ia tidak dapat ikut karena menganggap dirinya sudah terlalu tua. Ni Bou San berpendapat bahwa semua yang terjadi cukup diketahuinya saja. (Sylado, 2005: 89). Harapannya, setelah masa pemerintahan Adriaan Valckenier barlalu, keadaan akan berubah. Ni Bou San menceritakan mimpinya. Karena mimpi tersebut, Ni Bou San berprasangka bahwa ada persengkongkolan antara Belanda dengan Mancu (Sylado, 2007: 91).

Pada adegan kedua puluh tujuh, Hein de Wit datang ke rumah Ni Bou San. Ia bertemu dengan Ni Bou San dan Lim Tik Hian. Setelah Hein de Wit masuk, ia berkelahi dengan Lim Tik Hian karena salah paham. Mereka berdua berkelahi dengan menggunakan pedang (Sylado, 2005: 95). Ketegangan mereda setelah perkelahian berhasil dihentikan oleh Ni Bou San. Ia kemudian memperkenalkan Hein de Wit kepada Lim Tik Hian.

“Apa kau tidak ingat dia ini Hein de Wit, yang telah memberikan cinta kepada Hien Nio? Artinya Hein de Wit adalah menantuku. Suka atau tidak suka, kenyataan ini sejati, dan aku mesti menerima ini dengan hati fitrah. Sekarang, katakanlah Hein de Wit, sejarahnya bagaimana kau bisa menemui jalanmu ke sini setelah kau hilang entah setahun dua.” (Sylado, 2005: 98)

Hein de Wit pada adegan ini mengetahui perbuatan yang telah dilakukan Wouter Ruyter terhadap ayah dan ibunya lewat bantuan cenayang yang dilakukan oleh Ni Bou San. “Astaga, aku melihat dengan jelas seperti panggung bayangbayang durjana. Wouter Ruyter, wajah yang terekam di mata sebagai ular beludak, serigala berbaju domba, menikam sendiri ayahmu dengan pedangnyaketika terjadi pembantaian 9 Oktober 1740.”
(Sylado, 2005: 103)

Pada adegan kedua puluh delapan, ketegangan menurun. Setelah Hein de Wit masuk ke dalam untuk beristirahat, Lim Tik Hian berkata kepada Ni Bou San bahwa pernyataan Hein de Wit janggal. Lim Tik Hian tetap menganggap bahwa Hein de Wit tidak berbeda dengan orang Belanda yang lain, “… Di Barat mereka
adalah Barat di Timur mereka tetap Barat (Sylado, 2005: 110).”

Ni Bou San pun mengingatkan bahwa semua orang memiliki kekurangan. Ia menganggap Lim Tik Hian terlalu naif. Untuk itu, Ni Bou San mengajukan pertanyaan retoris, “Apa kau kira kita pun tidak punya cacat? Kau tanyakan perkaramu kepada pribumi, niscaya merekapun berkata: di Cina kita adalah Cina di Jawa kita tetap Cina….” (Sylado, 2005: 110)

Pada adegan kedua puluh sembilan, ketegangan masih dalam keadaan yang sama seperti pada adegan kedua puluh delapan. Beberapa saat kemudian Hein de Wit keluar lagi karena tidak dapat tidur. Hein de Wit ingin segera berangkat ke Lasem. Ia rindu kepada Hien Nio.

Pada babak kelima, adegan ketiga puluh, diceritakan tentang kesalahpahaman pasukan Cina terhadap kedatangan Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Sepuluh pasukan Cina langsung mengepung Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Namun, yang paling menarik perhatian adalah sosok Hein de Wit karena dia berkulit putih.

Suasana semakin mengeruh setelah Lim Tik Hian berseru agar membunuh Hein de Wit. “Ayo bunuh Belanda,” ucap Lim Tik Hian memengaruhi pasukan Cina (Sylado, 2007: 120). Di sisi lain, untuk menyelamatkan dirinya, Lim Tik Hian menegaskan pada pasukan Cina bahwa dirinya adalah bangsa Cina.

Setelah lepas dari target pasukan Cina, Lim Tik Hian tetap memengaruhi pasukan Cina. Kesepuluh pasukan Cina menyerang Hein de Wit sambil mengatakan bahwa Hein De Wit adalah mata-mata Belanda. Di sisi lain, Lim Tik Hian berpura-pura tidak mendengar ketika Hein de Wit meminta Lim Tik Hian untuk menjelaskan bahwa dirinya bukanlah mata-mata (Sylado, 2005: 121).

Pada adegan ketiga puluh satu, ketegangan mereda setelah kedatangan Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan beberapa pengawal. Hien Nio pun menjelaskan kepada Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat sosok lelaki Belanda yang ada di hadapannya. Setelah itu, Hien Nio mengajak Hein de Wit menemui
anaknya (Sylado, 2005: 126).

Pada adegan ketiga puluh dua, Lim Tik Hian, Tan Pan Ciang, dan Uy Ing Kiat tetap tinggal. Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat mendengarkan cerita dari Lim Tik Hian tentang dirinya yang mengaku sebagai teman sepermainan Hien Nio sejak kecil. Akan tetapi, setelah beranjak dewasa, hubungan mereka semakin
menjauh (Sylado, 2005: 127).

Selain itu, Lim Tik Hian bercerita tentang sikapnya terhadap hubungan Hein de Wit dengan Hien Nio. Ia heran terhadap alasan Hien Nio tertarik kepada Hein de Wit. Padahal, Belanda adalah musuh bangsa Cina (Sylado, 2005: 127).

Lim Tik Hian menginginkan mereka untuk berpisah (Sylado, 2005: 128). Pada adegan ketiga puluh tiga, tinggal Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat, sedangkan Lim Tik Hian pergi menuju dapur umum. Mereka kemudian
membahas tentang sifat Lim Tik Hian. Uy Ing Kiat menilai bahwa Lim Tik Hian masih bisa diarahkan untuk menjadi baik, sedangkan Tan Pan Ciang masih sangsi. Tan Pan Ciang menilai bahwa kebaikan seseorang dapat diketahui setelah dia berpeluang berbuat jahat (Sylado, 2005: 131). Mereka pun bersepakat untuk menguji Lim Tik Hian dan Hein de Wit.

Pada adegan ketiga puluh empat, Banci muncul sendirian. Dia berbicara pada dirinya sendiri ketika sedang menunggu Hein de Wit dan Hien Nio. Pada adegan ketiga puluh lima, Banci dihampiri oleh Hein de Wit dan
Hien Nio yang sedang menggendong anak mereka. Hein de Wit meminta Banci untuk menidurkan anak mereka di ranjang (Sylado, 2005: 135).

Pada adegan ketiga puluh enam, Hein de Wit dan Hien Nio berbincang tentang kehidupan yang mereka alami. Hein de Wit merasa bahwa hidupnya bermakna karena cinta yang ada di antara mereka (Sylado, 2005: 138).
Pada adegan ketiga puluh tujuh, latihan pasukan Cina dimulai kembali. Pada adegan ini, terjadi perkelahian antara Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Perkelahian itu merupakan ujian yang sengaja dirancang oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat kemudian mempermasalahkan kebangsaan Hein de Wit.

Lim Tik Hian termakan oleh rencana Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Beberapa saat kemudian, Lim Tik Hian dan Hein de Wit saling berkelahi sebagai ujian terhadap Hein de Wit dan Hein de WIt. Perkelahian tersebut dimenangkan oleh Hein de Wit.

“Aku bisa membunuhmu sekarang, tapi aku tidak mau: ini memperburuk kesan bahwa orang Belanda membunuh orang Cina yang sudah tidak berdaya seperti ini. Aku cuma heran, kenapa kau selalu curang, dalam banyak waktu mencoba membunuhku. Aku menghitung, enam kali dalam perjalanan dari Batavia sampai di Lasem sekarang ini ketika aku tidur kau mau menikamku.” (Sylado, 2005: 148)

Lim Tik Hian mengakui bahwa ia mau membunuh Hein de Wit dalam perjalanan ke Lasem. Usahanya tersebut disebabkan oleh kebenciannya kepada Hein de Wit karena memperoleh cinta Hien Nio (Sylado, 2005: 149).

Hien Nio langsung marah ketika mendengar pengakuan Lim Tik Hian. Hien Nio belum sempat melampiaskan kemarahannya kepada Lim Tik Hian karena sudah dihentikan oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat (Sylado, 2005: 149).

Pada babak keenam, adegan ketiga puluh delapan, diceritakan tentang Wouter Ruyter dan Marianne Valentijn yang sedang berbincang di bagian muka rumah. Wouter Ruyter bermaksud merayakan keberhasilannya menghancurkan pasukan Cina yang akan menyerang Semarang.

“… Tidak sia-sia aku dikirim ke Semarang ini oleh Gubernur Jendral Johannes Thedens. Nah, ayolah Sayang, kita menunggu malam yang bakal kunjung. Cuma cinta yang mampu mengalahkan siang.” (Sylado, 2005: 155)

Namun, Marianne Valentijn menanggapinya dengan dingin. Ia merasa bersalah atas kejadian 9 Oktober 1740. Kejadian itu terus membekas dan membayang dalam mimpi di setiap tidurnya. Wajah Jan de Wit suaminya yang dibunuh pada saat itu masih ada di benaknya. Marianne Valentijn pun merasa takut apabila harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan atas semua kejadian itu (Sylado, 2005: 158).

Pada adegan ketiga puluh sembilan, Hien Nio dibawa ke hadapan Wouter Ruyter oleh Antek-Antek. Wouter Ruyter kemudian memecut Hien Nio dan anaknya. Sambil memecut ia berkata bahwa bangsa Cina tidak boleh diberi keleluasan niaga karena seperti bangsa ular (Sylado, 2005: 164).

Adegan keempat puluh menceritakan tentang kedatangan Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Adegan ini merupakan puncak ketegangan dari drama 9 Oktober 1740, klimaks mayor. Hein de Wit dan Karel Dijkstra bertarung dengan Antek-Antek. Mereka berhasil membunuh tujuh Antek-Antek. Setelah itu, terjadi perkelahian antara Hien Nio dengan Wouter Ruyter.

Mereka berkelahi dengan menggunakan klewang. Setelah melukai beberapa bagian tubuh Wouter Ruyter, Hien Nio beberapa saat kemudian berhasil membunuhnya (Sylado, 2005: 176).

Di adegan keempat puluh satu, diceritakan tentang kedatangan Karel Dijkstra. Setelah sempat memukul Karel Dijkstra, Hein de Wit mempersilakan Lim Tik Hian untuk membuatnya kapok. Lim Tik Hian berkata kepada Karel Dijkstra bahwa kapok yang paling tulen adalah maut (Sylado, 2005: 179). Lim Tik Hian membunuh Karel Dijkstra.

Di adegan keempat puluh dua diceritakan bahwa Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Lim Tik Hian, dan Marianne Valentijn berencana melanjutkan kehidupan mereka di Manado (Sylado, 2005: 180). Cerita diakhiri dengan pelukan antara Marianne Valentijn dengan Hein de Wit, Hien Nio, dan anaknya.
2.1.2 Tahapan Alur
Dari empat puluh dua adegan tersebut, dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu eksposisi, komplikasi, klimaks, dan denaounment. Cerita drama 9 Oktober 1740 beralur linear sehingga tidak menyulitkan apabila dibagi menurut tahapan tersebut.

1.2.1 Eksposisi

Eksposisi pada drama ini terjadi pada babak pertama. Pada bagian ini diterangkan mengenai alasan melakukan pembantaian orang Cina di Batavia. Untuk melancarkan rencana tersebut, Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter menangkap Hein de Wit dan Hien Nio. Pertama, keinginan Adriaan Valckenier mengajar ayah Hein de Wit supaya jera. Kedua, keinginan Adriaan Valckenier mengetahui jaringan gerakan Cina yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda (Sylado, 2007: 2).

“Semua harus mendapat ganjarannya. Ya orang-orang Cina itu, ya kroni Von Imhoff. Sebab, tidak ada ketenangan dalam kekuasaanku selain membabat konfidensi lawan politikku. Jan de Wit, ayah kandung Hein de Wit itu, sepupu Anda sekaligus kroni Von Imhoff. Tugas Anda rumit, tapi Anda ular. Aku yakin Anda bisa
selesaikan sebagai ular.” (Sylado, 2005: 4)

“Ini rahasia kesepakatan dengan Mancu di Cina. Yang benar, semua Cina di Batavia akan dibunuh, bukan semata-mata karena persaingan niaga, atau karena mereka harus punya izin kerja permissiebriefje yang dikeluarkan oleh Von Imhoff, tapi sepenuhnya sebab kesepakatan politik antara Belanda, aku, dan penguasa
Mancu. Sejak 1719, di masa kekuasaan Ch’ing, K’ang Hsi sudah menyuruh orang-orang Cina pulang ke Cina karena harus dicacah jiwa. Tapi orang-orang Cina yang sudah mapan di sini tidak menggubris perintah penguasa Mancu itu, dan membuat mereka meminta kita membunuh Cina.” (Sylado, 2005: 5)

1.2.2 Komplikasi

Komplikasi terjadi di babak kedua hingga kelima. Situasi di keempat babak tersebut terus mengalami peningkatan. Di babak kedua, komplikasi terjadi ketika Hein de Wit berada di Belanda. Ia merasakan kerinduan yang mendalam terhadap Hien Nio dan Nusantara.

Di sisi lain, Hein de Wit menaruh kecurigaan terhadap Karel Dijkstra. Hein de Wit berprasangka bahwa Karel Dijkstra bekerja sama dengan Wouter Ruyter untuk memisahkan dirinya dengan Hien Nio. Prasangka tersebut menguat setelah Karel Dijkstra membela Wouter Ruyter. Pada saat itulah, Hein de Wit mulai curiga terhadap Karel Dijkstra. Selain itu, Karel Dijkstra bersumpah dengan menyebut langit akan runtuh, yang merupakan omongan yang biasa diucapkan oleh Wouter Ruyter (Sylado, 2005: 55).

Hal itu menyulut perkelahian di antara mereka. Karena prasangka tersebut, Hein de Wit dan Karel Dijkstra berkelahi. Di babak ketiga, komplikasi terjadi antara Pakubuwono dengan pasukan Cina. Komplikasi tidak terjadi secara langsung, tetapi timbul setelah Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan Banci pergi.

Pada babak ketiga, Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan Banci menghadap Pakubuwono II untuk meminta dukungan dari Mataram terhadap rencana pasukan Cina menyerang pasukan Belanda di Semarang. Pada awalnya, niat mereka didukung oleh Pakubuwono II yang mengatakan bahwa tentara kerajaan siap membantu (Sylado, 2005: 76).

Akan tetapi, setelah orang-orang Cina tersebut meninggalkan istana, Pakubuwono II berubah pikiran. Perubahan pikiran tersebut tampak ketika Pakubuwono II marah-marah dan menuduh Tumenggung Martopuro, yang membawa orang-orang Cina tersebut, menerima suap dari pasukan Cina.

Pada babak keempat, komplikasi terjadi ketika Lim Tik Hian dan Hein de Wit betemu di rumah Ni Bou San. Hein de Wit bentrok dengan Lim Tik Hian karena sentimen kebangsaan. Akan tetapi, bentrokan tersebut berakhir setelah Ni Bou San memisahkan mereka.

Hein de Wit pada mulanya ingin mencari Hien Nio, tetapi dia mendengar cerita bahwa Hien Nio berada di Lasem untuk bergabung dengan pasukan Cina. Lim Tik Hian dan Hein de Wit akhirnya memutuskan berangkat ke Lasem untuk bergabung dengan pasukan Cina di bawah pimpinan Tan Pan Ciang dan Uy Ing
Kiat, sedangkan Ni Bou San tidak ikut karena merasa sudah tua. Mereka akan membantu perjuangan pasukan Cina melawan Belanda.

Di babak kelima, Lim Tik Hian dan Hein de Wit tiba di Lasem, markas pasukan Cina. Komplikasi lagi-lagi terjadi antara Hein de Wit dan Lim Tik Hian karena sentimen kebangsaan. Kali ini, sentimen tersebut dimunculkan secara sengaja oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat untuk mengetahui tingkat keseriusan Hein de Wit dan Lim Tik Hian bergabung dengan pasukan Cina.

Alur cerita semakin mendekati puncak ketegangan. Saat itu, pasukan Cina bersiap-siap akan menyerang pasukan Belanda di Semarang.

1.2.3 Klimaks

Klimaks terjadi di babak keenam. Di babak ini, diceritakan bahwa Wouter Ruyter sedang berpesta dengan Marianne Valentijn. Wouter Ruyter berhasil menggagalkan penyerangan pasukan Cina di Semarang dan membunuh pemimpin pasukan Cina, yaitu Tan Pan Cian dan Uy Ing Kiat. Selain itu, Hien Nio dan bayinya tertangkap oleh Belanda.

“… Tidak sia-sia aku dikirim ke Semarang ini oleh Gubernur Jendral Johannes Thedens. Nah, ayolah Sayang, kita menunggu malam yang bakal kunjung. Cuma cinta yang mampu mengalahkan siang.” (Sylado, 2005: 155)

a. Klimaks Mayor

Klimak mayor terjadi di babak keenam, tepatnya pada adegan keempat puluh, ketika pertarungan antara Hein de Wit, Hien Nio, dan Lim Tik Hian melawan Antek-Antek dan Wouter Ruyter. Akhirnya, Antek-Antek dibunuh oleh Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Setelah itu, terjadi perkelahian antara Hien Nio dengan Wouter Ruyter. Mereka berkelahi dengan menggunakan klewang. Setelah melukai beberapa bagian tubuh Wouter Ruyter, Hien Nio beberapa saat kemudian berhasil membunuhnya (Sylado, 2005: 176).

b. Klimaks Minor

Klimaks minor terjadi di babak keenam, tepatnya di adegan keempat puluh satu, ketika Lim Tik Hian membunuh Karel Dijkstra. Setelah kematian Wouter Ruyter, Karel Dijkstra beberapa saat kemudian datang. Pada mulanya, Karel Dijkstra hendak mencari Wouter Ruyter. Akan tetapi, Wouter Ruyter sudah mati, sedangkan Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Lim Tik Hian, Marianne Valentijn masih berada di tempat yang sama.

Setelah sempat memukul Karel Dijkstra, Hein de Wit mempersilakan Lim Tik Hian untuk membuatnya kapok. Lim Tik Hian berkata kepada Karel Dijkstra bahwa kapok yang paling tulen adalah maut (Sylado, 2005: 179).

1.2.4 Denaounment

Denaounment terjadi di babak keenam setelah Antek-Antek, Wouter Ruyter, dan Karel Dijkstra mati terbunuh. Setelah itu, di adegan keempat puluh dua ketegangan menurun. Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Karel Dijkstra, dan Marianne Valentijn berencana melanjutkan kehidupan mereka di Manado
(Sylado, 2005: 180). Cerita berakhir dengan pelukan antara Hein de Wit dan Marianne Valentijn.

2.1.3 Pergerakan Alur

Pada bagian awal babak pertama, garis alur meningkat hingga adegan kesepuluh. Garis alur kemudian menurun pada adegan kesebelas. Pada babak kedua, garis alur terus meningkat dari adegan kedua belas
hingga adegan kedelapan belas. Setelah itu, garis alur mulai menurun pada adegan kesembilan belas dan dua puluh.

Pada awal babak ketiga, garis alur terus menurun hingga adegan kedua puluh tiga. Setelah itu, adegan kedua puluh empat garis alur meningkat. Garis alur kembali menurun di adegan kedua puluh lima.

Pada awal babak keempat, adegan kedua puluh enam, garis alur mendatar, tidak naik atau turun. Setelah itu, garis alur sempat naik pada adegan kedua puluh tujuh. Dari adegan kedua puluh delapan hingga babak keempat berakhir, garis alur kembali terus menurun.

Pada awal babak kelima, ketegangan sempat naik pada adegan ketiga puluh. Pada adegan ketiga puluh satu, garis alur terus menurun hingga adegan ketiga puluh enam. Setelah itu, pada adegan ketiga puluh enam, yang merupakan adegan terakhir di babak kelima, garis alur terus naik hingga akhir babak kelima. Pada adegan ketiga puluh delapan hingga keempat puluh, garis alur terus naik. Adegan empat puluh merupakan titik klimaks mayor. Setelah itu pada adegan keempat puluh satu, garis alur menurun. Adegan keempat puluh satu merupakan titik klimaks minor. Setelah itu, adegan empat puluh dua, yang merupakan akhir cerita, garis alur menurun drastis.

Teori Drama: Sebuah Rangkuman Ringkas

Drama pada umumnya didesain untuk dipertunjukkan di atas panggung (Reaske, 1966: 5 dan Asmara, 1983: 9). Kritik drama mencoba menganalisis drama sebagai kerja-kerja seni sebaik pertunjukan-pertunjukan. Untuk itu, sebelum dipentaskan, teks tertulis perlu dipelajari. Sebagai bentuk kesusastraan, tidak ada alasan bagi kita, baik praktisi, peneliti, ataupun penikmat drama pada umumnya, untuk tidak mempelajari teks drama sepanjang kita tidak melupakan bahwa tulisan itu untuk dipentaskan (Reaske, 1966: 5 dan Asmara, 1983: 9).

Kernodle membagi tiga tahapan yang harus dilalui sebelum drama dapatdipentaskan di panggung, yaitu perencanaan, latihan, dan pertunjukan (Kernodle, 1967: 337). Perencanaan dilakukan untuk mewujudkan naskah dari penulis drama menjadi perencanaan yang utuh dari seorang sutradara. Tahap selanjutnya adalah
latihan. Tahapan ini dilakukan untuk melihat dan mendengarkan drama dalam suara dan tubuh aktor yang dibangun dalam kesatuan dengan dekorasi panggung dan kostum. Tahapan yang terakhir adalah pertunjukan. Sutradara dan perancang, sebagai orang belakang panggung, membantu aktor-aktornya mempertunjukkan drama kepada penonton.

Bagian perencanaan masih dibagi atas tiga bagian (Kernodle, 1967: 338-339). Pertama, klasifikasi drama dalam hubungan drama dengan keseluruhan alat-alat kontrol, seperti jenis drama, keterangan pertunjukan dengan penikmat, konvensi, dan gaya. Kedua, analisis drama terhadap nilai-nilai struktur (alur, karakter, dan tema) dan tekstur (dialog, spectacle, dan suasana). Ketiga, penentuan pilihan dan penggunaan material dasar dari teknik-teknik yang akan digunakan sutradara, aktor, dan perancang. Penelitian ini hanya memfokuskan pada tahap analisis, terutama analisis struktur dan tekstur. Alasannya, analisis terhadap teks drama merupakan bagian penting dalam sebuah pertunjukan drama.

Sebuah pertunjukan drama merupakan kerja tim. Sebelum dipentaskan, teks drama harus dianalisis sehingga gambaran kasar tentang teks drama tersebut di atas pentas dapat dibayangkan. Sutradara dan perancang tidak akan menjalankan tugas mereka masing-masing sebelum analisis terhadap teks drama mencapai persetujuan pokok tentang ide dan perincian rencana produksi (Kernodle, 1967: 338).

1.1 Struktur
Struktur adalah bentuk drama pada waktu pementasan. Struktur terdiri atas alur, karakter, dan tema (premise) (Kernodle, 1967: 345 dan Harymawan, 1984:26—29). Drama mendapat intensitas konsentrasi dan kekuatan dari alur. William Archer (via Kernodle, 1967: 345) mengatakan bahwa drama adalah seni dari kegentingan sebagai karya fiksi yang dibangun secara bertahap. Bagian ini merupakan dasar dari pola irama drama secara keseluruhan. Alur tersusun dari peristiwa-peristiwa yang tersaji di atas pentas. Penikmat drama pada umumnya mengejar cerita dari bagian awal, tengah, dan akhir (Kernodle, 1967: 345). Di dalam cerita, kegentingan satu ke kegentingan selanjutnya dalam sebuah pola yang berirama, dari tegangan dan istirahat, dipengaruhi oleh pergerakan alur. Alur mengarahkan cerita drama pada klimaks dengan dorongan menarik, kemudian membiarkan berganti dan berdebar di bagian akhir melalui pengalaman pertunjukan yang luar biasa.

Reaske (1966: 35 dan Asmara, 1983:51) mendefinisikan alur sebagai aspek pokok dari semua drama. Alur bagi drama terutama memperhatikan tentang kejadian yang terjadi. Segala sesuatu yang terjadi di dalam drama dibahas di dalam alur. Sebuah drama terdiri dari sebuah rangkaian peristiwa atau episode yang mengikuti satu sama lain menurut rencana dari penulis; setiap kejadian dihubungkan—selalu dalam sebuah jalur yang tidak terlihat—kepada kejadiankejadian yang mengikuti. Reaske menjelaskannya sebagai struktur alur yang menunjuk pada seluruh organisasi dari drama. Analisis alur lebih menyeluruh daripada struktur alur. Analisis alur lebih tertuju pada segala sesuatu yang terjadi di drama. Dengan kata lain, analisis alur menganalisis tentang segala jenis insiden yang melibatkan konflik di dalam drama (Reaske, 1966: 36 dan Asmara, 1983: 52).

Kernodle (1966: 346) menjelaskan bahwa sebuah drama bukan narasi, tidak hanya dialog atau percakapan, tetapi sebuah interaksi. Tiap pembicaraan dari masing-masing karakter menuntut reaksi dari karakter lain. Dengan demikian penikmat drama menjadi tertarik untuk mengikuti cerita. Mereka ingin sekali melihat sesuatu yang akan terjadi selanjutnya. Eric Bentley menganalogikannya seperti sorang penari striptis yang melepas lapisan persembunyiannya satu persatu (Kernodle, 1967: 347).

Bagian pembukanya adalah eksposisi (Kernodle, 1967: 348). Tahapan ini menjelaskan kepada penikmat drama tentang kejadian yang telah terjadi dan yang sedang terjadi. Dengan demikian, penikmat drama tidak merasa ahistoris tentang cerita yang sedang disajikan. Bagian selanjutnya adalah komplikasi (Kernodle, 1967: 348). Pada bagian ini, awal mula ketegangan dihadirkan. Setelah itu, ketegangan akan menaik, lambat laun menjadi keras menuju klimaks minor. Setelah itu, ada dua pilihan, yaitu memperlambat ketegangan atau melanjutkan ketegangan menuju ke ketegangan yang lebih besar. Konfrontasi di dalamnya semakin menguat sehingga timbul kemelut (Kernodle, 1967: 348). Umumnya, sesudah mencapai tahapan ini, ketegangan sudah tidak dapat lagi kembali mereda, tetapi terus memuncak. Pertarungan tiba di krisis mayor yang mungkin menjadi titik puncak ketegangan, klimaks mayor. Setelah itu, muncul kesimpulan atau denaounment, istilah bahasa Prancis untuk menyebut sebagai pelepasan alur (Kernodle, 1967: 345). Aristoteles menyebut istilah itu sebagai disecovery. Pada bagian ini, semuanya menjadi jelas
(peripeteia).

Di lain pihak, Reaske (1966: 27 dan Asmara, 1983: 40) menyebut struktur alur drama tragedi tersusun atas empat kategori besar, yaitu rising action, climax, falling action, dan catastrophe. Rising action merupakan penciptaan kekuatankekuatan konflik yang digambarkan, diperluas, dan dipersiapkan untuk suatu bencana. Klimaks merupakan bagian terbesar pertama yang memutuskan atau membuat suatu penemuan yang penting tentang dirinya atau orang lain dalam drama, tindakan yang memecahkan segala sesuatu yang lain yang terjadi dalam drama, diserahkan kepada klimaks. Falling action merupakan bagian ketika pahlawan berangsung-angsur melemah dan dikalahkan oleh kekuatan yang lebih besar. Catastrophe merupakan bagian yang menceritakan bencana.

Karakter merupakan bahan paling aktif yang menggerakkan jalan cerita. Karekter memiliki kepribadian dan watak. Karakter dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Harymawan, 1984: 25). Dimensi fisiologis adalah ciri-ciri badani yang dimiliki oleh seorang tokoh. Contoh yang bisa diambil, antara lain usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan sebagainya. Dimensi sosiologis adalah latar belakang kemasyarakatan dari cerita tersebut. Contoh dari dimensi sosiologis, antara lain status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hobi, bangsa,suku, dan keturunan. Dimensi ketiga adalah psikologis. Dimensi ini berarti latar belakang kejiwaan yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya, seperti mentalitas, ukuran moral, perbedaan yang baik dengan yang tidak baik, temperamen, keinginan dan perasaan pribadi terhadap sikap dan kelakuan, tingkat kecerdasan, dan keahlian khusus dalam bidang tertentu (Harymawan, 1984: 27—28).

Reaske (1966: 44) membagi karakter menjadi dua, yaitu karakter mayor dan karakter minor. Penentuan karakter mayor atau karakter minor dapat diketahui melalui persentase aksi dalam drama (Reaske, 1966: 44). Pada umumnya, karakter mayor terdiri dari dua orang tokoh, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Jika lebih dari itu, alasannya dapat diketahui di dalam cerita, misalnya cinta segitiga atau kebingungan salah satu tokoh utama memilih dua tokoh yang lain.

Alur bercerita tentang peristiwa yang terjadi, sedangkan karakter bercerita tentang alasan peristiwa terjadi (Kernodle, 1967: 349). Yang menggerakkan peristiwa adalah karakter. Karakter melakukan tindakan berdasarkan motivasi yang ada dalam dirinya. Dari motivasi tersebut, dapat diketahui dimensi psikologis karakter. Reaske (1966: 41 dan 42 dan Asmara, 1983: 59—61) memberi contoh tujuh motivasi yang sering ditemui dalam kehidupan nyata.

Pertama, motivasi perhitungan adalah jenis motivasi yang memandang semua hal yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan imbalan. Kedua, motivasi penuh cinta adalah jenis motivasi yang memandang segala hal yang dilakukannya demi cinta, baik cinta yang dimilikinya, cinta yang diidamkannya, ataupun cinta yang dimiliki seseorang untuknya. Ketiga, motivasi takut gagal adalah jenis motivasi yang memandang segala sesuatu yang dikerjakan berdasarkan perhitungan untuk menghindari kegagalan. Keempat, motivasi beragama adalah jenis motivasi yang memandang sesuatu yang dikerjakannya berdasar atas nama Tuhan. Kelima, motivasi pendendam adalah jenis motivasi yang memandang sesuatu yang dikerjakannya berdasar atas balas dendam. Keenam, motivasi bangga adalah jenis motivasi yang memandang sesuatu yang dikerjakannya sebagai sesuatu yang luar biasa yang membuatnya merasa bangga. Ketujuh, motivasi cemburu adalah jenis motivasi yang memandang sesuatu yang dikerjakannya berdasarkan kecemburuan terhadap orang lain.

Bagian struktur yang lain adalah tema, Harymawan (1984: 26 dan Soemanto, 2001: 22) menyebutnya premis. Premis adalah rumusan intisari cerita sebagai landasan idiil dalam menentukan arah tujuan cerita (Harymawan, 1984:26). Dalam bahasa Indonesia, premis dapat diartikan sebagai ide pemikiran cerita. Untuk menemukan makna lengkap dalam drama, tema sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai drama yang lain (Kernodle, 1967: 354). Dengan kata lain, peneliti dapat menginterpretasikannya dari implikasi-implikasi daya tariknya dan nuansa-nuansa yang terbangun dalam drama (Reaske, 1966: 81 dan Asmara, 1983: 114).
Tema dapat ditemukan melalui banyak cara. Tema dapat ditemukan dalam dialog dan diperjelas dalam pertunjukan (Kernodle, 1967: 354). Tiap adegan memiliki kesatuan yang erat yang saling berhubungan untuk melengkapi dan menyempurnakan tema.

Dalam drama abad pertengahan, tema dapat diketahui melalui epilog. Akan tetapi, seorang karakter eksternal dalam drama modern berbicara langsung kepada pembaca. Ia memberikan komentar tentang makna lakon. Pada abad ke-19 aktor minorlah yang menjelaskan tema. Penjelasan itu semakin kuat apabila karakter utama menyatakan kesimpulannya dari penjelasan sebalumnya. Pembaca harus berhati-hati untuk tidak menganggap pernyataan dari seorang karakter sebagai tema (Kernodle, 1967: 354). Pernyataan tersebut bisa saja hanya kesimpulan sementara. Selain itu, kadang-kadang sesuatu yang diucapkan oleh seorang tokoh dalam dialog menunjukkan suatu perbedaan yang ironis dengan peristiwa yang terjadi.
Pada intinya, cerita terbaik menawarkan lebih dari sekadar pemahaman filosofis. Cerita menawarkan pembaruan penting ketika karakter-karakternya bergerak dalam ritme-ritme tindakan dan takdir menuju kepada kedamaian spiritual yang besar (Kernodle, 1967: 355).

1.2 Tekstur
Tekstur berasal dari bahasa latin yang berarti tenunan (Kernodle, 1967:355). Ia mencontohkan pada tekstur pakaian. Untuk mengetahui tekstur pakaian, kita harus menyentuhnya, merasakan perbedaan. Dalam drama, indra yang dipakai adalah indra penglihatan dan indra pendengaran. Indra pendengaran digunakan untuk mendengarkan suara dan citra bahasa, sedangkan indra penglihatan digunakan untuk melihat latar peristiwa dan gerakan-gerakan aktornya. Pengertian tekstur dalam penelitian drama adalah sesuatu yang dialami langsung oleh pengamat. Pengalaman tersebut hadir melalui indra, sesuatu yang didengar (dialog), sesuatu yang dilihat (spectacle), dan sesuatu yang dirasa lewat pengalaman visual dan aural (suasana) (Kernodle, 1967: 345). Tekstur terdiri dari dialog, suasana, dan spectacle.

Untuk merasakan pengalaman tersebut, penikmat drama dapat memperolehnya melalui haupttext dan nebentext. Wujud permasalahan teraba oleh kegiatan aktif menikmati pentas (Soemanto, 2002: 42). Dialog menjadikan teks tertulis menjadi terdengar dan perwatakan tokoh menampakkan diri. Johan Hauken (via Soemanto, 2002: 43) berpendapat bahwa pembacaan dan penikmatan teks drama secara aktif merupakan kegiatan “gestalten”, membangun menjadi sesuatu, karena teks tertulis dan pentas lakon adalah “gestaltungsfahig”, sesuatu yang masih harus dibentuk. Untuk itu, dialog, spectacle, dan suasana disajikan
secara bersama-sama (Soemanto, 2002: 43).

Penggunaan bahasa berhubungan dengan keefektifan penyampaian tujuan yang ingin disampaikan dalam drama (Reaske, 1966: 54 dan Asmara, 1983: 77). Keberadaannya biasanya dihadirkan lewat pembicaraan-pembicaraan para tokohnya. Oleh karena itu, dialog merupakan bagian tekstur terpenting dalam drama. Tekstur drama dibangun oleh dialog. Tekstur drama tercipta karena adanya suara dan imaji bahasa dalam dialog (Kernodle, 1967: 355). Dialog dalam lakon merupakan sumber utama untuk menggali segala informasi tekstual (Dewojati, 2003: 54).

Jalannya eksekusi (pelaksanaan pentas) juga akan memosisikan dialog menjadi sarana penting dalam menjadikan teks tertulis menjadi “terdengar” dan “teraba” (Dewojati, 2003: 54). Hanya pada lakon yang tertulis secara lengkap dan rinci tentang petunjuk penyutradaraan didapatkan pembacaan terhadap teks yang dapat membantu untuk membayangkan kemungkinan pementasannya (Soemanto, 2001: 125).

Ada dua hal yang akan diteliti dalam dialog teks drama 9 Oktober 1740, yaitu penggunaan gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa tinggi dan rendah. Penelitian terhadap penggunaan gaya bahasa kiasan atau ketidaklangsungan makna membantu untuk memahami lebih dalam tentang isi dialog dalam teks. Semua penulis drama menggunakan bahasa kiasan (Reaske, 1966: 59 dan Asmara, 1983: 84). Mereka mengemukakan ide-idenya dengan menggunakan analogi yang dihadirkan dengan cara berbeda, bukan secara tersurat.

Ketidaklangsungan bahasa ada beberapa jenis. Reaske (1966: 59—61 dan Asmara, 1983: 84—87) menyebutkan 13 jenis ketidaklangsungan bahasa, yaitu simile, metafora, allegori, alliterasi, antithesis, cocophoni, epithet, eufemisme, euphoni, imaji, paradok, periphasis, dan personifikasi. Akan tetapi, dari 13 jenis ketidaklangsungan bahasa, disebutkan Reaske bahwa simile dan metafora merupakan bagian paling penting. Kedua gaya bahasa tersebut membuat dialog menjadi lebih hidup dan lebih dramatis (Reaske, 1966: 59 dan Asmara, 1983: 85). Simile adalah semacam analogi yang membandingkan kesamaan antara satu dengan yang lain sehingga menarik untuk diteliti (Reaske, 1966: 59 Asmara, 1983: 84). Contoh simile, matahari seperti lampu panas di langit. Metafora adalah menyamakan suatu benda dengan benda yang lain (Reaske, 1966: 59 dan Asmara, 1983: 85). Contoh metafora, matahari adalah lampu panas di langit.
Yang dimaksud dengan gaya bahasa tinggi adalah yang menunjukkan keagungan, keformalan, kehalusan, dan keandalan yang kuat dalam ekspresi fantastis (Reaske, 1966: 65 dan Asmara, 1983: 92). Yang dimaksud dengan gaya bahasa rendah adalah yang menunjukkan kesederhanaan, kejelasan, dan ketidakindahan bahasa (Reaske, 1966: 65 dan Asmara, 1983: 92).

Spectacle merupakan aspek-aspek visual sebuah lakon, terutama action fisik karakter-karakter. Spectacle mengacu kepada pembabakan, kostum, tata rias, perlampuan, dan perlengkapan (Soemanto, 2001: 23—24). Sutradara diharapkan mampu memvisualisasikan teks ke dalam bentuk visual di pertunjukan. Dengan demikian, penikmat drama pun dapat menikmati pertujukan dengan lebih lengkap.

Aristoteles menyebut bagian selanjutnya sebagai musik. Akan tetapi, musik, oleh Kernodle (1967: 357), kemudian digantikan dengan istilah suasana karena pada drama modern sedikit menggunakan instrumen atau melodi. Bahkan, dalam teks drama 9 Oktober 1740, tidak dituliskan keterangan saat musik dimainkan. Akan tetapi, sifat-sifat yang ada dalam musik, misalnya ritme, tidak dapat dipisahkan di dalam suasana.
Suasana tergantung pada banyak unsur yang dikomunikasikan secara langsung kepada penikmat drama. Suasana dapat dirasakan melalui dialog dan spectacle. Suasana terutama dikomunikasikan secara langsung kepada penikmat drama melalui ritme, gerak aktor, dialog aktor, dan perubahan-perubahan intensitas pencahayaan (Kernodle, 1967: 357).

John Dewey (dalam Kernodle, 1967: 357) menyebut ritme sebagai urutan perubahan yang bervariasi. Ia menyatakan bahwa ketika aliran seragam, tanpa intensitas variasi atau kecepatan, tidak ada ritme. Perubahan ritme merupakan terjadinya teror yang berbeda dengan harapan pada pemulihan. Setiap peristiwa yang sedang terjadi melengkapi hubungan peristiwa sebelumnya dan mengantar ke hubungan peristiwa selanjutnya di dalam teks.

ABSTRACT

ABSTRACT

Text drama 9 Oktober 1740 is one of created by Remy Sylado which is formed drama except Siau Ling. This text which is launched by Kepustakaan Populer Gramedia on 2005 tells about love story between Hein de Wit and Hien Nio.

Text drama 9 Oktober 1740 consists of political intrigue and sentiment of nationality. This research searched text drama 9 Oktober 1740 as text which will perform actually planning phase with used Kernodle theory. This planning phase result can help understanding audience about this drama with Kernodle theory. General reader also can get the main of drama 9 Oktober 1740 with that theory.

This research also used statements of the other people who experts about drama. The focuses are structure, texture, and elements of drama 9 Oktober 1740 relation. The structure is the form of the play in form. The structure consists of plot, character and theme. This drama has linear plot, 17 characters, and the die of bad values which was trying to divorce the loves with is based of nationality different.

Texture is the experience of audience which gets from dialog, spectacle and mood. Dialog in this text used figurative style and low language. Spectacle stands in six places, Batavia, Amsterdam, Kartasura, Tangerang, Lasem and Semarang. Mood of this drama full of sentimental, actually between Hien Hio and Hien de Wit.

Structure and texture of this drama is to fill in each other. Three elements of structure have relations in there and so texture.

Key words: text drama 9 Oktober 1740, structure, plot, character, theme, texture,dialog, spectacle, mood, and elements of text drama 9 Oktober 1740 relation.