Ada enam babak di dalam teks drama 9 Oktober 1740. Tiap-tiap babak diberi judul nama kota. Babak pertama adalah Batavia. Babak kedua adalah Amsterdam. Babak ketiga adalah Kartasura. Babak keempat adalah Tangerang. Babak kelima adalah Lasem. Babak keenam adalah Semarang. Dalam drama ini, semuanya terdiri dari 42 adegan.
1.1 Alur Keseluruhan
Pada babak pertama, adegan pertama, diceritakan pertemuan antara Adriaan Valckenier dengan Wouter Ruyter. Adriaan Valckenier adalah Gubernur Jendral VOC yang ke-25. Ia bertanya kepada Wouter Ruyter tentang keyakinan Wouter Ruyter dapat menangkap Hein de Wit, keponakan Wouter Ruyter, dan Hien Nio, kekasih Hein de Wit yang merupakan orang Cina (Sylado, 2007: 1).
Di adegan ini, dijelaskan alasan Adriaan Valckenier menangkap Hein de Wit dan Hien Nio kepada Wouter Ruyter. Pertama, keinginan Adriaan Valckenier mengajar ayah Hein de Wit supaya jera. Kedua, keinginan Adriaan Valckenier mengetahui jaringan gerakan Cina yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda (Sylado, 2007: 2).
Pada adegan kedua, Karel Dijkstra dipanggil Wouter Ruyter untuk meyakinkan Adriaan Valckenier bahwa kemampuannya dapat diandalkan. Ia berkata bahwa dirinya licin seperti belut, menjepit seperti ketam, dan sanggup berkorban seperti anak domba (Sylado, 2007: 3).
Adegan ketiga menceritakan tentang percakapan antara Adriaan Valckenier dengan Wouter Ruyter. Adriaan Valckenier tampak yakin bahwa tugas Wouter Ruyter untuk menghabisi lawan politiknya, Von Imhoff dan Jan de Wit, dapat diselesaikan dengan baik.
Wouter Ruyter merespon kepercayaan Adriaan Valckenier dengan rasa percaya diri. Bahkan, ia berani mempertaruhkan kepalanya apabila rencananya tersebut gagal. Selain itu, ia menceritakan alasan pribadinya ingin membunuh Jan de Wit. Alasannya disebabkan oleh perasaan cemburunya terhadap Jan de Wit.
Wouter Ruyter mencintai Marianne Valentijn, istri Jan de Wit.
“…. Kalau aku keliru, kepalaku sendiri taruhannya. Mana bisa aku keliru menyebut Jan de Wit, sepupuku, jika istrinya, Marianne Valentijn, membuat malamku berubah menjadi kuburan tua tertutup salju.” (Sylado, 2005: 4)
Di adegan ini, Adriaan Valckenier menjelaskan lebih detail tentang alasan penangkapan Hein de Wit dan Hien Nio. Pertama, ia beralasan bahwa Jan de Wit, ayah Hein de Wit, merupakan kroni Von Imhof yang anggota dewan Hindia. Adriaan Velckenier memiliki pendapat yang berseberangan tentang cara menyikapi etnis Cina di Batavia Von Imhoff.
“Semua harus mendapat ganjarannya. Ya orang-orang Cina itu, ya kroni Von Imhoff. Sebab, tidak ada ketenangan dalam kekuasaanku selain membabat konfidensi lawan politikku. Jan de Wit, ayah kandung Hein de Wit itu, sepupu Anda sekaligus kroni Von Imhoff. Tugas Anda rumit, tapi Anda ular. Aku yakin Anda
bisa selesaikan sebagai ular.” (Sylado, 2005: 4).
Kedua, Valckenier mengungkapkan bahwa rencana pembunuhan terhadap orang Cina di Batavia tidak disebabkan oleh persaingan niaga atau keharusan penduduk Cina mempunyai surat izin kerja yang dikeluarkan oleh Von imhoff, tetapi disebabkan oleh kesepakatan yang dibuat antara Belanda, Valckenier, dan penguasa Manchu. Penguasa Manchu meminta Valckenier untuk membunuh orang Cina di Batavia karena mereka menolak pulang untuk dicacah jiwa (Sylado, 2007: 5).
Adegan keempat menceritakan tentang pertemuan antara Antek-Antek yang bertugas menangkap Hein de Wit dan Hien Nio dengan Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter. Mereka ini pula yang nantinya akan membunuh orang-orang Cina di Batavia dan membuang mayat-mayatnya.
Antek-Antek meyakinkan Adriaan Valckenier dengan cara berkata secara serempak. Mereka berkata, “Kami berjanji kepada Tuan Gubernur Jendral sanggup melaksanakan tugas ini dengan baik (Sylado, 2005: 8).”
Wouter Ruyter kemudian menyuruh Antek-Antek bersembunyi. Setelah itu, Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter juga ikut bersembunyi.
Adegan kelima bercerita tentang Hein de Wit yang sedang menunggu Karel Dijkstra di depan Stadhuisplein. Dalam keadaan menunggu seorang diri, dijelaskan tentang keadaan cinta Hein de Wit melalui solilokui. Hein de Wit bingung karena tidak mengerti alasan Pamannya, Wouter Ruyter, berusaha memisahkan dirinya dengan Hien Nio. Pamannya menyuruh Hein de Wit bersekolah ke Belanda. Padahal, Hien Nio sedang hamil. Hein de Wit mengkhawatirkan nasib buah hatinya (Sylado, 2005: 10).
Pada adegan keenam, Karel Dijkstra datang menghampiri Hein de Wit. Ia melaporkan pengamatannya tentang keamanan lingkungan sekitar dari kemungkinan datangnya musuh.
Setelah itu, mereka berdua berbicara tentang permasalahan cinta yang sedang dihadapi Hein de Wit. Karel Dijkstra menenangkan Hein de Wit sekaligus mengambil hati Hein de Wit dengan cara menegaskan bahwa mereka berdua bersahabat. Karel Dijkstra berkata, “Tentu saja, sahabatku Hein, tentu ya, kita
memang bersahabat bukan?” (Sylado, 2005: 14)
Pada adegan ketujuh, Hien Nio dan Banci datang di dari sudut yang lain. Mereka mencari Hein de Wit di tempat yang berjauhan. Awalnya, mereka belum saling mengetahui keberadaan masing-masing.
Pada adegan ini, Hien Nio menjelaskan tentang perasaannya kepada Banci. Ia merasa tidak enak dan tidak patut karena harus menemui suaminya di Taman. Si Banci menanggapi Hien Nio dengan berkata,
“Ah, cinta kok pakek ragu segala. Lihat itu purnama di atas sana, tidak ragu walaupun dihalangi awan. Oh, indahnya kau purnama, menyaksikan cinta yang tak pernah kukenal dalam sejarahku sebagai banci: berhati purnama, tapi berkelamin terong.” (Sylado, 2005: 17)
Setelah itu, Hein de Wit dan Hien Nio saling menyadari bahwa orang yang ditunggu telah berada di sekitar Stadhuisplein. Ketika bertemu, Hein de Wit tanpa basa-basi langsung memberitahu Hien Nio agar mereka segera pergi dari Batavia karena akan terjadi pembunuhan di seantero Batavia.
“Ya, memang begitu itu, Hien Nio. Ada konspirasi Valckenier dengan Ch’ien Lung. Sebelum terlambat, kita harus melarikan diri. Kau dan keluargamu harus selamat, sumpah demi roh leluhurku para hertog di Den Bosch, tiada pedang yang boleh memisahkan kita.” (Sylado, 2005: 23)
Pada adegan kedelapan, Hein de Wit dan Hien Nio ditinggalkan oleh Banci dan Karel Dijkstra. Mereka menjauh untuk mengawasi situasi lingkungan sekitar.
Setelah itu, Hien Nio dan Hein de Wit kembali berbincang tentang rencana meninggalkan Batavia menuju Buitenzorg. Hein de Wit mendesak Hien Nio untuk segera pergi. Hein de Wit berkata bahwa Batavia akan dibanjiri darah pada tanggal 9 Oktober.
Pada adegan kesembilan, Karel Dijkstra berlari menghampiri Hein de Wit dan Hien Nio karena dikejar-kejar oleh Antek-Antek. Hein de Wit, Hien Nio, dan Karel Dijkstra ditangkap oleh Antek-Antek, sedangkan Banci melarikan diri.
Pada adegan kesepuluh, Hein de Wit, Hien Nio, dan Karel Dijkstra dibawa ke depan gedung Stadhuis, tempat Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter sudah menunggu mereka. Wouter Ruyter memecuti Hien Nio. Ketika memecuti Hien Nio, Wouter Ruyter seolah-olah tidak mengetahui bahwa keponakannya Hein de
Wit juga ditangkap.
Setelah Hein de Wit berteriak agar Wouter Ruyter melepaskan Hien Nio, Wouter Ruyter berlagak seolah-oleh terkejut. Ia kemudian menghampiri Hein de Wit sambil berpura-pura menyesal karena telah menangkap Hein de Wit.
Di adegan kesebelas, Wouter Ruyter kemudian melepaskan Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Akan tetapi, Hien Nio tetap ditahan dan dibawa masuk ke dalam. Hein de Wit pun menyusulnya ke dalam, sedangkan Karel Dijkstra tetap di luar.
Di depan gedung Stadhuis, Wouter Ruyter memberi imbalan kepada Karel Dijkstra dan memuji atas pekerjaannya. Setelah itu, Karel Dijkstra diminta untuk menemani Hein de Wit pergi ke Belanda. Wouter Ruyter meminta Karel Dijkastra untuk mengajak Hein de Wit ke tempat prostitusi dan mentraktirnya berbuat
mesum sampai Hein de Wit terjangkit penyakit kelamin (Sylado, 2005: 29).
Pada babak kedua adegan kedua belas menceritakan tentang perkenalan Hein de Wit dan Karel Dijkstra dengan Ross, sundal di Zeedijk, Amsterdam. Ross menarik perhatian Hein de Wit dan Karel Dijkstra mengatakan kepada mereka berdua bahwa sundal yang membikin Amsterdam hidup. Walaupun ada yang
bilang bahwa Sundal adalah sampah, Ross meyakini bahwa sundal tidak akan tersingkir (Sylado, 2005: 32).
Ia merayu Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Ross berkata, “Kalau kamu berkata kasihan kami, panjat kami beri kami uang.” (Sylado, 2005: 32)
Di lain pihak, Karel Dijkstra memengaruhi Ross agar mengajak Hein de Wit masuk ke dalam dan bercumbu. Karel Dijkstra berkata kepada Ross, “Kenapa kau tidak tuntun sahabatku ini masuk ke dalam, membagun kesenangan itu.”
Pada adegan ketiga belas, Karel Dijkstra berbicara dengan dirinya sendiri setelah ditinggal oleh Hein de Wit dan Ross. Ia menjelaskan tentang kebingungannya terhadap dirinya. Karel Dijkstra merasa memiliki tiga wajah. Wajah pertama dikenal oleh kebanyakan orang. Wajah kedua hanya dikenal oleh dirinya sendiri. Wajah ketiga tidak dikenal oleh orang lain dan diri sendiri (Sylado, 2005: 34—35). Karel Dijkstra berkata, “Terhadap diriku sendiri aku bingung. Seperti berdiri bukan dengan kaki. Di atas tanah yang bukan lagi bumi.”
(Sylado, 2005: 35)
Pada adegan keempat belas, Ross keluar kamar untuk menghampiri Karel Dijkstra. Ross jengkel terhadap Hein de Wit karena tertidur di kamarnya. Rencana Karel Dijkstra membuat Hein de Wit terkena penyakit kelamin terancam gagal karena Hein de Wit tidak bersetubuh dengan Ross. Akan tetapi, Karel Dijkstra
berhasil meyakinkan Ross untuk masuk kembali dan merayu Hein de Wit (Sylado, 2005: 37).
Pada adegan kelima belas, Karel Dijkstra kembali ditinggal sendirian di luar oleh Ross. Ia kemudian termenung kembali. Saat itu, dirinya bertanya-tanya tentang sikap Wouter Ruyter terhadap Hein de Wit.
“Mengapa Wouter Ruyter, paman sahabatku itu, begitu serius menyuruhnya pulang ke sini, memisahkan dirinya dari jantung hatinya.? Apakah itu benar beralas pada kebencian ras Belanda tergadap semua Cina, yang membuat mereka dibatasi habis? Ataukah ada udang di balik batu dalam pikiran dan kemauan Woiter Ruyter? Ah, aku tidak tahu, sungguh mati.” (Sylado, 2005: 39)
Pada adegan keenam belas Ross kembali keluar dari kamar dan menghampiri Karel Dijkstra. Ross merasa takut terhadap kelakuan Hein de Wit di kamarnya. Ross berkata bahwa Hein de Wit tidur di kamarnya. Ia terlihat seperti sedang bermimpi menyodomi sapi. Ross pun tidak berani membangunkannya karena trauma ketika membangunkan ayahnya. Saat itu, ia malah diperkosa. Itu pulalah yang membuatnya menjadi seorang pelacur.
Karel Dijkstra kemudian kembali membujuk Ross agar bersedia masuk ke dalam dan membangunkan Hein de Wit. Karel Dijkstra mengatakan bahwa Hein de Wit akan memberinya uang dua kali lipat apabila berhasil membangunkannya (Sylado, 2005: 43).
Mendengar itu, Ross tertarik. Ia bersedia untuk kembali ke dalam dan membangunkan Hein de Wit. Ia berkata, “Hei, lihat, aku lakukan sekarang.”
Pada adegan ketujuh belas, Karel Dijkstra kembali berbicara pada dirinya sendiri. Di adegan ini, ia mempertanyakan alasan dirinya bersedia untuk berperan ganda seperti ini hanya demi uang.
“… Aku ini pecundang di belakang sahabatku, tapi aku pendulang di hadapan pamannya. Pamannya, aku tahu, perwira tinggi di Batavia, berpenghasilan sebulan lebih dari 8.000 gulden, padahal gaji gubernur jendral 600 gulden….” (Sylado, 2005: 45).
Ia berkata bahwa semua itu berasal dari korupsi. Pejabat-pejabat di Batavia memang maling. Namun, kerajaan Belanda yang jauh letaknya dari Batavia tidak tahu itu. Rata-rata dari semua orang Belanda yang datang ke sana terjangkit infrit kolonoialisme. Walaupun demikian, Karel Dijkstra tetap menganggapnya sebagai kesalahan orang-orang pribumi yang dungu, primitif, dan gila hormat (Sylado, 2005: 45).
Hein de Wit di adegan kedelapan belas datang dengan tiba-tiba dari belakang dan duduk di samping Karel Dijkstra. Awalnya, Hein de Wit hanya berkeluh kesah tentang keinginannya untuk kembali ke Batavia. Setelah itu, cerita berlanjut soal sikap Wouter Ruyter yang tidak baik terhadap dirinya.
Karel Dijkstra membela sikap Wouter Ruyter terhadap Hein de Wit. Pada saat itulah, kecurigaan Hein de Wit muncul terhadap Karel Dijkstra. Ia curiga bahwa Karel Dijkstra mendapat sesuatu dari Wouter Ruyter. Kecurigaannya semakin menguat ketika Karel Dijkstra bersumpah dengan menyebut langit akan runtuh, yang merupakan omongan yang biasa diucapkan oleh Wouter Ruyter (Sylado, 2005: 55). Hal itu menyulut perkelahian di antara mereka.
Pada adegan kesembilan belas, Ross dan sundal-sundal yang lain keluar untuk melihat perkelahian tersebut. Setelah memukul dan menendang Karel Dijkstra hingga tercebur ke sungai, Hein de Wit menghampiri Ross dan memberinya uang. Ia berkata kepada Ross bahwa dirinya tidak menaiki perempuan yang bukan istrinya (Sylado, 2005: 57).
Pada adegan kedua puluh, Ross ditinggalkan sendirian oleh Hein de Wit. Ia berkata kepada dirinya sendiri. “Lagi-lagi uang mengakhiri pertemuan. Uang yang membikin segalanya berubah. Dua sahabat bisa saling gontok-gontokan. Tapi yang musuhan bisa saling berdamai. Tidak salah uang menjadi berhala baru. Orang Belanda pun mengarungi samudra. Pergi ke Timur tidak memikirkan bahaya. Semata lantaran uang dan kekuasaan….” (Sylado, 2005: 57 dan 58)
Pada babak ketiga, adegan kedua puluh satu, Hien Nio dan teman-temannya belum bertemu dengan Pakubuwono II. Mereka masih ditemani oleh Raden Sumpeno yang memberi arahan kepada mereka untuk memeriksa busana masing-masing.
“Perhatian! Perhatian! Baginda Raja Sri Susuhunan Pakubuwono II sedang berjalan ke balairung ini. Sebelum baginda datang ke sini, silakan periksa busana masing-masing apakah sudah terkenakan menurut patutnya. Kami bertugas memeriksa busana para tamu. (Sylado, 2005: 61)
Pada adegan kedua puluh dua, Pakubuwono II masuk diikuti oleh para tamu, termasuk Raden Sumpeno. Pakubuwono menanyakan kepada para tamunya tentang maksud kedatangan mereka. Para tamu diperkenalkan oleh Tumenggung Martopuro. Setelah itu, masing-masing dari mereka, kecuali Banci, ikut angkat bicara. Uy Ing Kiat berkata bahwa maksud kedatangannya adalah untuk meminta dukungan dari
Pakubuwono II. Para pasukan Cina di bawah pimpinannya dan Tan Pan Ciang
telah menyusun kekuatan untuk menyerang Belanda (Sylado, 2005: 65).
Hien Nio menjelaskan kepada Pakubuwono II tentang alasannya menyerang Belanda. Ia mengingatkan kepada Pakubuwono II tentang peristiwa pembunuhan masal orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740 yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Adriaan Valckenier. Itu pula yang menjadi alasan baginya bergabung dengan pasukan Cina. Ia mengkhawatirkan bahwa kekejaman Belanda akan sampai di Surakarta (Sylado, 2005: 57).
Pada adegan ini, dijelaskan pula kepada Pakubuwono II tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Dirk Rueven, Gubernur Jendral VOC yang ke-22, menekan dan memeras orang Cina di seantero kota (Sylado, 2005: 70).
“… Ditambah, Ketua Dewan Hindia, Von Imhoff, mengeluarkan surat izin kerja bagi orang Cina, dan karenanya keadaan jadi kisruh. Orang-orang yang tak punya izin itu ditangkap lantas dikirim ke Sailan. Tersiar kabar, mereka dibuang ke laut. Itu yang kemudian menimbulkan pemberontakan. Dan pemberontakan itu, pada setahun lalu, dimanfaatkan oleh Gubernur Jendral Valckenier untuk membantai habis bangsa kami di Batavia.” (Sylado, 2005: 71)
Setelah menjelaskan itu, Hien Nio meminta izin untuk menyusui bayinya. Ia meninggalkan ruang pertemuan bersama Banci. Di tempat pertemuan, Pakubuwono II, Tan Pan Cian, Uy Ing Kiat, Tumenggung Martopuro, dan Raden Sumpeno masih tinggal.
Pada adegan kedua puluh tiga, Pakubuwono II merestui penuh perjuangan pasukan Cina. Ia bahkan mengatakan bahwa tentara kerajaan siap membantu (Sylado, 2005: 76).
Setelah mendapat restu, Tan Pan Ciang dan Uy Iang Kiat mohon diri kepada Pakubuwono II. Tumenggung Martopuro dan Raden Sumpeno diminta oleh Pakubuwono II untuk tetap tinggal.
Pada adegan kedua puluh empat, Pakubuwono II berbicara dengan Tumenggung Martopuro dan Raden Sumpeno tentang kedua tamunya tadi. Sikapnya berbeda dengan sebelumnya. Ia mempertanyakan alasan membawa tamu-tamunya tadi menghadap. Pakubuwono II berprasangka bahwa Tumenggung
Martopuro telah menerima suap (Sylado, 2005: 79).
Tumenggung Martopuro terkejut atas prasangka dari sang raja. Ia bersumpah bahwa semua yang dilakukannya untuk kebaikan Mataram. Pasukan Cina bersungguh-sungguh melawan Belanda (Sylado, 2005: 79).
Pakubuwono II tidak percaya atas perkataan Tumenggung Martopuro tadi. Pakubuwono II berkata bahwa pembelaan tadi tidak mengubah pendiriannya. Ia pun meminta Raden Sumpeno untuk menjelaskan semua perkataannya tadi dan masalah yang tidak terkatakan kepada Tumenggung Martopuro (Sylado, 2005:
82). Setelah itu, ia pun pergi.
Pada adegan kedua puluh lima, Pakubuwono II pergi. Raden Sumpeno kemudian menjelaskan kepada Tumenggung Martopuro tentang keadaan Pakubuwono II. Sebagai pengasuh sang raja sejak kecil, ia tahu segala yang dipikirkan Pakubuwono II.
“Yang aku tahu betul, sebab aku kenal benar pribadinya sejak masa kanaknya, barwa perangainya itu diliputi bingung, dan bisa mengalirkannya kepada orang lain. Biasa juga mengambil keputusan tanpa timbang, dan karena itu kebijakannya selalu mengambang, sama seperti esuk dele sore tempe. Hanya sebatas
itu yang aku tahu.” (Sylado, 2005: 83)
Tumenggung Martopuro teringat akan janjinya kepada Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Ia merasa telah mengecewakan kedua pemimpin pasukan Cina tersebut. Ia tidak ingin pembantaian terjadi lagi terhadap pasukan Cina yang sedang berjuang. Ia berkata, “Tidak. Jangan sampai itu terjadi. Tidak ada naluri yang lebih buruk daripada naluri membenarkan pembantaian.” (Sylado, 2005: 86)
Pada babak keempat, adegan kedua puluh enam, Ni Bou San sedang kedatangan tamu yang bernama Lim Tik Hian. Ia sedang bercerita tentang sikapnya terhadap pembunuhan massal orang Cina di Batavia. Lim Tik Hian
berpendapat bahwa peristiwa tersebut harus dibalas. Ia meminta Ni Bou San merestuinya untuk berangkat ke Lasem dan bergabung dengan Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat (Sylado, 2005: 88).
Lim Tik Hian mengungkapkan kebenciannya terhadap Belanda. Ia beranggapan semua Belanda sama. Tabiat-tabiat orang Belanda tidak dapat diubah. Kekejaman penjajahan Belanda di Nusantara lebih kejam daripada kekejaman penjajahan Mancu di Cina (Sylado, 2005: 90).
Ni Bou San merestui keberangkatan Lim Tik Hian. Ia tidak dapat ikut karena menganggap dirinya sudah terlalu tua. Ni Bou San berpendapat bahwa semua yang terjadi cukup diketahuinya saja. (Sylado, 2005: 89). Harapannya, setelah masa pemerintahan Adriaan Valckenier barlalu, keadaan akan berubah. Ni Bou San menceritakan mimpinya. Karena mimpi tersebut, Ni Bou San berprasangka bahwa ada persengkongkolan antara Belanda dengan Mancu (Sylado, 2007: 91).
Pada adegan kedua puluh tujuh, Hein de Wit datang ke rumah Ni Bou San. Ia bertemu dengan Ni Bou San dan Lim Tik Hian. Setelah Hein de Wit masuk, ia berkelahi dengan Lim Tik Hian karena salah paham. Mereka berdua berkelahi dengan menggunakan pedang (Sylado, 2005: 95). Ketegangan mereda setelah perkelahian berhasil dihentikan oleh Ni Bou San. Ia kemudian memperkenalkan Hein de Wit kepada Lim Tik Hian.
“Apa kau tidak ingat dia ini Hein de Wit, yang telah memberikan cinta kepada Hien Nio? Artinya Hein de Wit adalah menantuku. Suka atau tidak suka, kenyataan ini sejati, dan aku mesti menerima ini dengan hati fitrah. Sekarang, katakanlah Hein de Wit, sejarahnya bagaimana kau bisa menemui jalanmu ke sini setelah kau hilang entah setahun dua.” (Sylado, 2005: 98)
Hein de Wit pada adegan ini mengetahui perbuatan yang telah dilakukan Wouter Ruyter terhadap ayah dan ibunya lewat bantuan cenayang yang dilakukan oleh Ni Bou San. “Astaga, aku melihat dengan jelas seperti panggung bayangbayang durjana. Wouter Ruyter, wajah yang terekam di mata sebagai ular beludak, serigala berbaju domba, menikam sendiri ayahmu dengan pedangnyaketika terjadi pembantaian 9 Oktober 1740.”
(Sylado, 2005: 103)
Pada adegan kedua puluh delapan, ketegangan menurun. Setelah Hein de Wit masuk ke dalam untuk beristirahat, Lim Tik Hian berkata kepada Ni Bou San bahwa pernyataan Hein de Wit janggal. Lim Tik Hian tetap menganggap bahwa Hein de Wit tidak berbeda dengan orang Belanda yang lain, “… Di Barat mereka
adalah Barat di Timur mereka tetap Barat (Sylado, 2005: 110).”
Ni Bou San pun mengingatkan bahwa semua orang memiliki kekurangan. Ia menganggap Lim Tik Hian terlalu naif. Untuk itu, Ni Bou San mengajukan pertanyaan retoris, “Apa kau kira kita pun tidak punya cacat? Kau tanyakan perkaramu kepada pribumi, niscaya merekapun berkata: di Cina kita adalah Cina di Jawa kita tetap Cina….” (Sylado, 2005: 110)
Pada adegan kedua puluh sembilan, ketegangan masih dalam keadaan yang sama seperti pada adegan kedua puluh delapan. Beberapa saat kemudian Hein de Wit keluar lagi karena tidak dapat tidur. Hein de Wit ingin segera berangkat ke Lasem. Ia rindu kepada Hien Nio.
Pada babak kelima, adegan ketiga puluh, diceritakan tentang kesalahpahaman pasukan Cina terhadap kedatangan Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Sepuluh pasukan Cina langsung mengepung Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Namun, yang paling menarik perhatian adalah sosok Hein de Wit karena dia berkulit putih.
Suasana semakin mengeruh setelah Lim Tik Hian berseru agar membunuh Hein de Wit. “Ayo bunuh Belanda,” ucap Lim Tik Hian memengaruhi pasukan Cina (Sylado, 2007: 120). Di sisi lain, untuk menyelamatkan dirinya, Lim Tik Hian menegaskan pada pasukan Cina bahwa dirinya adalah bangsa Cina.
Setelah lepas dari target pasukan Cina, Lim Tik Hian tetap memengaruhi pasukan Cina. Kesepuluh pasukan Cina menyerang Hein de Wit sambil mengatakan bahwa Hein De Wit adalah mata-mata Belanda. Di sisi lain, Lim Tik Hian berpura-pura tidak mendengar ketika Hein de Wit meminta Lim Tik Hian untuk menjelaskan bahwa dirinya bukanlah mata-mata (Sylado, 2005: 121).
Pada adegan ketiga puluh satu, ketegangan mereda setelah kedatangan Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan beberapa pengawal. Hien Nio pun menjelaskan kepada Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat sosok lelaki Belanda yang ada di hadapannya. Setelah itu, Hien Nio mengajak Hein de Wit menemui
anaknya (Sylado, 2005: 126).
Pada adegan ketiga puluh dua, Lim Tik Hian, Tan Pan Ciang, dan Uy Ing Kiat tetap tinggal. Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat mendengarkan cerita dari Lim Tik Hian tentang dirinya yang mengaku sebagai teman sepermainan Hien Nio sejak kecil. Akan tetapi, setelah beranjak dewasa, hubungan mereka semakin
menjauh (Sylado, 2005: 127).
Selain itu, Lim Tik Hian bercerita tentang sikapnya terhadap hubungan Hein de Wit dengan Hien Nio. Ia heran terhadap alasan Hien Nio tertarik kepada Hein de Wit. Padahal, Belanda adalah musuh bangsa Cina (Sylado, 2005: 127).
Lim Tik Hian menginginkan mereka untuk berpisah (Sylado, 2005: 128). Pada adegan ketiga puluh tiga, tinggal Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat, sedangkan Lim Tik Hian pergi menuju dapur umum. Mereka kemudian
membahas tentang sifat Lim Tik Hian. Uy Ing Kiat menilai bahwa Lim Tik Hian masih bisa diarahkan untuk menjadi baik, sedangkan Tan Pan Ciang masih sangsi. Tan Pan Ciang menilai bahwa kebaikan seseorang dapat diketahui setelah dia berpeluang berbuat jahat (Sylado, 2005: 131). Mereka pun bersepakat untuk menguji Lim Tik Hian dan Hein de Wit.
Pada adegan ketiga puluh empat, Banci muncul sendirian. Dia berbicara pada dirinya sendiri ketika sedang menunggu Hein de Wit dan Hien Nio. Pada adegan ketiga puluh lima, Banci dihampiri oleh Hein de Wit dan
Hien Nio yang sedang menggendong anak mereka. Hein de Wit meminta Banci untuk menidurkan anak mereka di ranjang (Sylado, 2005: 135).
Pada adegan ketiga puluh enam, Hein de Wit dan Hien Nio berbincang tentang kehidupan yang mereka alami. Hein de Wit merasa bahwa hidupnya bermakna karena cinta yang ada di antara mereka (Sylado, 2005: 138).
Pada adegan ketiga puluh tujuh, latihan pasukan Cina dimulai kembali. Pada adegan ini, terjadi perkelahian antara Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Perkelahian itu merupakan ujian yang sengaja dirancang oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat kemudian mempermasalahkan kebangsaan Hein de Wit.
Lim Tik Hian termakan oleh rencana Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat. Beberapa saat kemudian, Lim Tik Hian dan Hein de Wit saling berkelahi sebagai ujian terhadap Hein de Wit dan Hein de WIt. Perkelahian tersebut dimenangkan oleh Hein de Wit.
“Aku bisa membunuhmu sekarang, tapi aku tidak mau: ini memperburuk kesan bahwa orang Belanda membunuh orang Cina yang sudah tidak berdaya seperti ini. Aku cuma heran, kenapa kau selalu curang, dalam banyak waktu mencoba membunuhku. Aku menghitung, enam kali dalam perjalanan dari Batavia sampai di Lasem sekarang ini ketika aku tidur kau mau menikamku.” (Sylado, 2005: 148)
Lim Tik Hian mengakui bahwa ia mau membunuh Hein de Wit dalam perjalanan ke Lasem. Usahanya tersebut disebabkan oleh kebenciannya kepada Hein de Wit karena memperoleh cinta Hien Nio (Sylado, 2005: 149).
Hien Nio langsung marah ketika mendengar pengakuan Lim Tik Hian. Hien Nio belum sempat melampiaskan kemarahannya kepada Lim Tik Hian karena sudah dihentikan oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat (Sylado, 2005: 149).
Pada babak keenam, adegan ketiga puluh delapan, diceritakan tentang Wouter Ruyter dan Marianne Valentijn yang sedang berbincang di bagian muka rumah. Wouter Ruyter bermaksud merayakan keberhasilannya menghancurkan pasukan Cina yang akan menyerang Semarang.
“… Tidak sia-sia aku dikirim ke Semarang ini oleh Gubernur Jendral Johannes Thedens. Nah, ayolah Sayang, kita menunggu malam yang bakal kunjung. Cuma cinta yang mampu mengalahkan siang.” (Sylado, 2005: 155)
Namun, Marianne Valentijn menanggapinya dengan dingin. Ia merasa bersalah atas kejadian 9 Oktober 1740. Kejadian itu terus membekas dan membayang dalam mimpi di setiap tidurnya. Wajah Jan de Wit suaminya yang dibunuh pada saat itu masih ada di benaknya. Marianne Valentijn pun merasa takut apabila harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan atas semua kejadian itu (Sylado, 2005: 158).
Pada adegan ketiga puluh sembilan, Hien Nio dibawa ke hadapan Wouter Ruyter oleh Antek-Antek. Wouter Ruyter kemudian memecut Hien Nio dan anaknya. Sambil memecut ia berkata bahwa bangsa Cina tidak boleh diberi keleluasan niaga karena seperti bangsa ular (Sylado, 2005: 164).
Adegan keempat puluh menceritakan tentang kedatangan Hein de Wit dan Karel Dijkstra. Adegan ini merupakan puncak ketegangan dari drama 9 Oktober 1740, klimaks mayor. Hein de Wit dan Karel Dijkstra bertarung dengan Antek-Antek. Mereka berhasil membunuh tujuh Antek-Antek. Setelah itu, terjadi perkelahian antara Hien Nio dengan Wouter Ruyter.
Mereka berkelahi dengan menggunakan klewang. Setelah melukai beberapa bagian tubuh Wouter Ruyter, Hien Nio beberapa saat kemudian berhasil membunuhnya (Sylado, 2005: 176).
Di adegan keempat puluh satu, diceritakan tentang kedatangan Karel Dijkstra. Setelah sempat memukul Karel Dijkstra, Hein de Wit mempersilakan Lim Tik Hian untuk membuatnya kapok. Lim Tik Hian berkata kepada Karel Dijkstra bahwa kapok yang paling tulen adalah maut (Sylado, 2005: 179). Lim Tik Hian membunuh Karel Dijkstra.
Di adegan keempat puluh dua diceritakan bahwa Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Lim Tik Hian, dan Marianne Valentijn berencana melanjutkan kehidupan mereka di Manado (Sylado, 2005: 180). Cerita diakhiri dengan pelukan antara Marianne Valentijn dengan Hein de Wit, Hien Nio, dan anaknya.
2.1.2 Tahapan Alur
Dari empat puluh dua adegan tersebut, dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu eksposisi, komplikasi, klimaks, dan denaounment. Cerita drama 9 Oktober 1740 beralur linear sehingga tidak menyulitkan apabila dibagi menurut tahapan tersebut.
1.2.1 Eksposisi
Eksposisi pada drama ini terjadi pada babak pertama. Pada bagian ini diterangkan mengenai alasan melakukan pembantaian orang Cina di Batavia. Untuk melancarkan rencana tersebut, Adriaan Valckenier dan Wouter Ruyter menangkap Hein de Wit dan Hien Nio. Pertama, keinginan Adriaan Valckenier mengajar ayah Hein de Wit supaya jera. Kedua, keinginan Adriaan Valckenier mengetahui jaringan gerakan Cina yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda (Sylado, 2007: 2).
“Semua harus mendapat ganjarannya. Ya orang-orang Cina itu, ya kroni Von Imhoff. Sebab, tidak ada ketenangan dalam kekuasaanku selain membabat konfidensi lawan politikku. Jan de Wit, ayah kandung Hein de Wit itu, sepupu Anda sekaligus kroni Von Imhoff. Tugas Anda rumit, tapi Anda ular. Aku yakin Anda bisa
selesaikan sebagai ular.” (Sylado, 2005: 4)
“Ini rahasia kesepakatan dengan Mancu di Cina. Yang benar, semua Cina di Batavia akan dibunuh, bukan semata-mata karena persaingan niaga, atau karena mereka harus punya izin kerja permissiebriefje yang dikeluarkan oleh Von Imhoff, tapi sepenuhnya sebab kesepakatan politik antara Belanda, aku, dan penguasa
Mancu. Sejak 1719, di masa kekuasaan Ch’ing, K’ang Hsi sudah menyuruh orang-orang Cina pulang ke Cina karena harus dicacah jiwa. Tapi orang-orang Cina yang sudah mapan di sini tidak menggubris perintah penguasa Mancu itu, dan membuat mereka meminta kita membunuh Cina.” (Sylado, 2005: 5)
1.2.2 Komplikasi
Komplikasi terjadi di babak kedua hingga kelima. Situasi di keempat babak tersebut terus mengalami peningkatan. Di babak kedua, komplikasi terjadi ketika Hein de Wit berada di Belanda. Ia merasakan kerinduan yang mendalam terhadap Hien Nio dan Nusantara.
Di sisi lain, Hein de Wit menaruh kecurigaan terhadap Karel Dijkstra. Hein de Wit berprasangka bahwa Karel Dijkstra bekerja sama dengan Wouter Ruyter untuk memisahkan dirinya dengan Hien Nio. Prasangka tersebut menguat setelah Karel Dijkstra membela Wouter Ruyter. Pada saat itulah, Hein de Wit mulai curiga terhadap Karel Dijkstra. Selain itu, Karel Dijkstra bersumpah dengan menyebut langit akan runtuh, yang merupakan omongan yang biasa diucapkan oleh Wouter Ruyter (Sylado, 2005: 55).
Hal itu menyulut perkelahian di antara mereka. Karena prasangka tersebut, Hein de Wit dan Karel Dijkstra berkelahi. Di babak ketiga, komplikasi terjadi antara Pakubuwono dengan pasukan Cina. Komplikasi tidak terjadi secara langsung, tetapi timbul setelah Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan Banci pergi.
Pada babak ketiga, Tan Pan Ciang, Uy Ing Kiat, Hien Nio, dan Banci menghadap Pakubuwono II untuk meminta dukungan dari Mataram terhadap rencana pasukan Cina menyerang pasukan Belanda di Semarang. Pada awalnya, niat mereka didukung oleh Pakubuwono II yang mengatakan bahwa tentara kerajaan siap membantu (Sylado, 2005: 76).
Akan tetapi, setelah orang-orang Cina tersebut meninggalkan istana, Pakubuwono II berubah pikiran. Perubahan pikiran tersebut tampak ketika Pakubuwono II marah-marah dan menuduh Tumenggung Martopuro, yang membawa orang-orang Cina tersebut, menerima suap dari pasukan Cina.
Pada babak keempat, komplikasi terjadi ketika Lim Tik Hian dan Hein de Wit betemu di rumah Ni Bou San. Hein de Wit bentrok dengan Lim Tik Hian karena sentimen kebangsaan. Akan tetapi, bentrokan tersebut berakhir setelah Ni Bou San memisahkan mereka.
Hein de Wit pada mulanya ingin mencari Hien Nio, tetapi dia mendengar cerita bahwa Hien Nio berada di Lasem untuk bergabung dengan pasukan Cina. Lim Tik Hian dan Hein de Wit akhirnya memutuskan berangkat ke Lasem untuk bergabung dengan pasukan Cina di bawah pimpinan Tan Pan Ciang dan Uy Ing
Kiat, sedangkan Ni Bou San tidak ikut karena merasa sudah tua. Mereka akan membantu perjuangan pasukan Cina melawan Belanda.
Di babak kelima, Lim Tik Hian dan Hein de Wit tiba di Lasem, markas pasukan Cina. Komplikasi lagi-lagi terjadi antara Hein de Wit dan Lim Tik Hian karena sentimen kebangsaan. Kali ini, sentimen tersebut dimunculkan secara sengaja oleh Tan Pan Ciang dan Uy Ing Kiat untuk mengetahui tingkat keseriusan Hein de Wit dan Lim Tik Hian bergabung dengan pasukan Cina.
Alur cerita semakin mendekati puncak ketegangan. Saat itu, pasukan Cina bersiap-siap akan menyerang pasukan Belanda di Semarang.
1.2.3 Klimaks
Klimaks terjadi di babak keenam. Di babak ini, diceritakan bahwa Wouter Ruyter sedang berpesta dengan Marianne Valentijn. Wouter Ruyter berhasil menggagalkan penyerangan pasukan Cina di Semarang dan membunuh pemimpin pasukan Cina, yaitu Tan Pan Cian dan Uy Ing Kiat. Selain itu, Hien Nio dan bayinya tertangkap oleh Belanda.
“… Tidak sia-sia aku dikirim ke Semarang ini oleh Gubernur Jendral Johannes Thedens. Nah, ayolah Sayang, kita menunggu malam yang bakal kunjung. Cuma cinta yang mampu mengalahkan siang.” (Sylado, 2005: 155)
a. Klimaks Mayor
Klimak mayor terjadi di babak keenam, tepatnya pada adegan keempat puluh, ketika pertarungan antara Hein de Wit, Hien Nio, dan Lim Tik Hian melawan Antek-Antek dan Wouter Ruyter. Akhirnya, Antek-Antek dibunuh oleh Hein de Wit dan Lim Tik Hian. Setelah itu, terjadi perkelahian antara Hien Nio dengan Wouter Ruyter. Mereka berkelahi dengan menggunakan klewang. Setelah melukai beberapa bagian tubuh Wouter Ruyter, Hien Nio beberapa saat kemudian berhasil membunuhnya (Sylado, 2005: 176).
b. Klimaks Minor
Klimaks minor terjadi di babak keenam, tepatnya di adegan keempat puluh satu, ketika Lim Tik Hian membunuh Karel Dijkstra. Setelah kematian Wouter Ruyter, Karel Dijkstra beberapa saat kemudian datang. Pada mulanya, Karel Dijkstra hendak mencari Wouter Ruyter. Akan tetapi, Wouter Ruyter sudah mati, sedangkan Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Lim Tik Hian, Marianne Valentijn masih berada di tempat yang sama.
Setelah sempat memukul Karel Dijkstra, Hein de Wit mempersilakan Lim Tik Hian untuk membuatnya kapok. Lim Tik Hian berkata kepada Karel Dijkstra bahwa kapok yang paling tulen adalah maut (Sylado, 2005: 179).
1.2.4 Denaounment
Denaounment terjadi di babak keenam setelah Antek-Antek, Wouter Ruyter, dan Karel Dijkstra mati terbunuh. Setelah itu, di adegan keempat puluh dua ketegangan menurun. Hein de Wit, Hien Nio, anak mereka, Karel Dijkstra, dan Marianne Valentijn berencana melanjutkan kehidupan mereka di Manado
(Sylado, 2005: 180). Cerita berakhir dengan pelukan antara Hein de Wit dan Marianne Valentijn.
2.1.3 Pergerakan Alur
Pada bagian awal babak pertama, garis alur meningkat hingga adegan kesepuluh. Garis alur kemudian menurun pada adegan kesebelas. Pada babak kedua, garis alur terus meningkat dari adegan kedua belas
hingga adegan kedelapan belas. Setelah itu, garis alur mulai menurun pada adegan kesembilan belas dan dua puluh.
Pada awal babak ketiga, garis alur terus menurun hingga adegan kedua puluh tiga. Setelah itu, adegan kedua puluh empat garis alur meningkat. Garis alur kembali menurun di adegan kedua puluh lima.
Pada awal babak keempat, adegan kedua puluh enam, garis alur mendatar, tidak naik atau turun. Setelah itu, garis alur sempat naik pada adegan kedua puluh tujuh. Dari adegan kedua puluh delapan hingga babak keempat berakhir, garis alur kembali terus menurun.
Pada awal babak kelima, ketegangan sempat naik pada adegan ketiga puluh. Pada adegan ketiga puluh satu, garis alur terus menurun hingga adegan ketiga puluh enam. Setelah itu, pada adegan ketiga puluh enam, yang merupakan adegan terakhir di babak kelima, garis alur terus naik hingga akhir babak kelima. Pada adegan ketiga puluh delapan hingga keempat puluh, garis alur terus naik. Adegan empat puluh merupakan titik klimaks mayor. Setelah itu pada adegan keempat puluh satu, garis alur menurun. Adegan keempat puluh satu merupakan titik klimaks minor. Setelah itu, adegan empat puluh dua, yang merupakan akhir cerita, garis alur menurun drastis.